Chapter 10

11.6K 1.4K 108
                                    

"Justru bapak membenarkan gosip yang beredar, pak. Mereka pasti ngirain saya memang udah melet bapak, makanya bisa sampe pacaran." ujar Dina tak percaya dengan jalan keluar yang kata pria itu cuma ada satu.

"Terserah kamu. Tapi gosipnya udah terlanjur menyebar. Kalau kamu jadi pacar saya, mereka nggak akan bisa mengusik kamu lagi. Saya pastikan itu" Tama mengatakannya dengan begitu tenang dan mantap.

Dina mengernyitkan kening. Apa ia tak salah dengar barusan? Atasannya itu seolah-olah ingin melindunginya. Benar begitu kan? Ah tidak! Itu pasti perasaannya saja. Bisa jadi pria itu ada maksud lain.

"Saya rasa itu bukan ide yang baik, pak. Yang ada hidup saya nanti tambah ribet. Lagian saya tahu gimana gaya pacaran kalangan atas seperti bapak" tolak Dina. Yang benar saja kalau ia sampai menerimanya? Hiii.. bayangan Tama yang tengah meremas bokong seorang wanita di club waktu itu langsung melintas di benaknya. Membuat Dina bergidik ngeri diam-diam.

"Untuk selanjutnya gaji mu nggak akan saya potong lagi" ucap Tama mencoba memberikan penawaran pada Dina. Tama mengumpat berkali-kali dalam hati sejak tadi. Gadis berkaki pendek itu tak urung menyetujui idenya. Tama sebenarnya merasa harga dirinya sedang dipertaruhkan. Sempat gadis itu menolaknya lagi, julukan cassanova sepertinya tidak pantas lagi untuknya.

"Ha? Maksud bapak?" Dina melongo tak percaya. Mata indahnya mengerjap berkali-kali menatap Tama. Sementara Tama kembali merasakan gemas melihat ekspresinya itu.

"Ya gaji mu utuh seratus persen, dan karyawan lain juga akan berhenti mengusik mu. Saya yang akan bikin mereka menyesal kalau sampai itu terjadi lagi"

Di telinga Dina, ucapan Tama itu terdengar seperti janji seorang pria sejati terhadap wanita cinta matinya. Tapi mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. Lebih lengkapnya, atasan yang suka memanfaatkan kelemahan bawahan.

Dina merasa tersihir mengatakan ya. Tapi ia harus mempertimbangkan konsekuensinya. Dina menatap Tama yang menaikkan sebelah alis, tampak sedang menunggu jawabannya.

"Memangnya apa untungnya sama bapak? Kalau saya udah jelas, untungnya gaji saya balik lagi dan karyawan berhenti ngegosipin saya. Kalau bapak apa?"

Ya, Dina memang harus menanyakan itu. Ia patut waspada. Jangan-jangan jika ia setuju, ke depannya ia malah dirugikan. Tidak mungkin Tama tak mempunyai keuntungan dibalik penawarannya ini.

Mendengar pertanyaan itu membuat Tama seketika gelagapan. Ia tak memperkirakan Dina akan menanyakan hal ini. Tapi dengan cepat ia mampu mengendalikan ekspresi wajahnya, biasa saja.

"Saya.."

Belum sempat Tama memberi alasan, ponselnya di atas meja berdering dan muncul nama Marinka di layar. Tama menyeringai, ia mempeloreh ide dalam sekejab.

"Kamu lihat ini" Tama mengangkat ponselnya, menunjukkan pada Dina.

"Dia selalu gangguin saya. Jadi kalau saya udah punya pacar, dia mungkin bisa berpikir ulang lagi deketin apalagi ganggu-ganggu saya"

Marinka calling..

Dina memicingkan mata menatap layar ponsel Tama seksama. Ia yakin tak salah baca. Seperti cerita Ika, Marinka adalah teman kencan Tama. Tapi tak jelas, mereka pacaran atau hubungan yang seperti apa.

"Dia bukannya pacar bapak?"

"Bukan. Saya hanya ingin lepas darinya. Intinya kita saling membantu, kan?"

Hey Dina! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang