Chapter 7

10.6K 1.3K 44
                                    

"Iya, Dina teman mu. Mama lupa ceritain ke kamu kalau Dina tinggal disini, kamu sih jarang pulang!" jelas Bunga sewot pada putra sulungnya itu.

Mendengar ucapan mamanya Tama menoleh ke belakang sebentar, lalu balik ke depan menatap Dina lagi yang kelihatan begitu gugup. "Teman ku?" tanya Tama kental dengan nada ragu. "Dia bukan teman ku, ma. Dia cuma karyawan biasa di kantor" Tama mengangkat salah satu sudut bibirnya, tersenyum mengejek Dina. Mendengarnya rasa gugup Dina seketika sirna berganti rasa kesal pada pria arogan di depannya ini. Kedua tangan Dina mengepal di sisi tubuhnya, menahan gejolak di dada.

"Permisi.." ucap Dina akhirnya sembari menundukkan kepala, lalu melangkah cepat menuju arah dapur. Buat apa ia berlama-lama disana kalau hanya untuk mendengar ejekan Tama. Dilepasnya kasar masker yang menutupi setengah wajahnya, yang sebelumnya diletakkannya nampan itu cukup keras di atas meja.

"Astagfirulloh! Kaget aku!" bik Hasnah yang tengah menyiapkan makan malam mengelus-elus dadanya.

"Uh, maaf bik.." cicit Dina merasa bersalah.

"Dek Dina kenapa kelihatan marah begitu?"

"Hmm nggak ada kok, bik. Sini biar Dina bantuin.." Dina mulai membantu bik Hasnah menyiapkan makan malam untuk disajikan. Dina mencoba mengusir rasa kesalnya yang sudah bercampur amarah.

***

Tanpa disadarinya Tama tersenyum sendiri saat makan malam bersama keluarganya. Tama merasa senang melihat raut kesal Dina tadi. Ia yakin Dina pasti tidak berani muncul di hadapannya. Gadis itu lebih memilih menghindar. Entah apa yang membuat Tama begitu bersemangat membuat gadis itu kesal. Tama tidak tahu pasti. Sebab ia tidak pernah seusil ini pada siapapun. Bahkan orang-orang di sekitarnya mengenalnya yang tak banyak omong, dan terkesan dingin, apalagi sejak dirinya dikhianati seorang wanita di masa lalu.

"Ngapain senyam-senyum begitu?" tegur Bunga pada putranya itu. Gilang dan Bella yang melihat itu pun mengernyit heran. Ada apa gerangan pada Tama yang bisa senyum-senyum sendiri. Sungguh pemandangan yang sangat langka.

"Siapa yang senyum?" Tama kembali memperlihatkan wajahnya yang biasa.

"Oh ya ma, ceritakan pada Tama kenapa dia bisa tinggal disini?".

***

Setelah makan malam dengan bik Hasnah, Dina menyetrika pakaiannya. Dina tadi sengaja tak ikut menyajikan makan malam untuk keluarga Mahendra di ruang makan. Dina tak ingin bertemu Tama. Pria itu selalu saja membuatnya jengkel, dongkol, kesal, marah.. pokoknya yang membuat mood Dina anjlok sampai ke bawah.

Setelah selesai menyetrika, Dina pun mematikan lampu utama di kamar itu, lalu dicoloknya lampu tidur. Dina merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menarik selimut hingga pinggang. Pandangannya menerawang ke atap kamar. Hidupnya benar-benar banyak cobaan belakangan ini. Dina pun menghela nafas dan mulai memejamkan mata.

Suara ketukan pintu menyentak Dina. Dengan malas-malasan ia pun bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu itu, ternyata bik Hasnah sudah berdiri di hadapannya.

"Kenapa bik?" tanya Dina sambil mengucek mata dan terlihat sesekali menguap.

"Duh.. maaf dek Dina, bibik nggak niat mengganggu tidur dek Dina. Tapi.. mas Tama minta bibik untuk ngasi tahu dek Dina harus nganter kopi hangat untuk mas Tama di kamarnya" bik Hasnah menjelaskan dengan panjang.

Mata Dina yang tadi hanya tinggal beberapa watt, kini langsung terang. Dina menggertakkan gigi saking kesalnya pada Tama yang mengganggu tidurnya. "Kamarnya dimana bik?" tapi Dina pada akhirnya pasrah juga.

Bik Hasnah pun menunjukkan kamar Tama yang ada di lantai dua pada Dina. Dina yang tadi sudah menyiapkan kopi hangat sesuai permintaan Tama pun langsung melangkah menuju kamar pria itu.

Hey Dina! ✔️Where stories live. Discover now