Chapter 6

11.6K 1.4K 72
                                    

Wattpad ku error, chapter 6 yang sebelumnya ku publish hilang. Vote dan komen kalian juga ikut hilang 😭

Dina mengusap pipinya yang sudah sangat basah akibat air matanya yang terus turun. Hampir lima belas menit Dina terduduk di tanah sembari menangisi nasib. Perlahan Dina pun bangkit, berjalan tanpa tujuan. Entah kemana langkah kakinya akan membawanya.

Dina berhenti di simpang jalan raya, ia melihat ada warung di seberang sana. Dina mencoba mencakari saku celanja jeans-nya, mencari-cari sesuatu. Seingatnya ada uang pecahan dari kembalian ongkosnya tadi. Tepat, ia menarik tangannya dari sana dan ada selembar uang dua ribu serta seribu rupiah. Cukup untuk membasahi tenggorokannya yang terasa begitu kering.

Sebenarnya Dina juga merasa sangat lapar. Sejak sore ia lupa mengisi perut karena sibuk mengurusi kepindahannya ke kos baru. Ralat, tidak ada kos baru lagi. Justru ia sekarang jadi gelandangan. Entah dimana Dina akan tidur malam ini. Air mata Dina kembali turun membasahi pipinya. Ia terisak. Menyesali keputusannya yang berpergian di malam hari. Andai ia besok saja perginya setelah jam kantor, saat orang-orang masih lalu-lalang pasti ia tidak akan mengalami kecopetan begini. Dina menghela nafas. Nasi sudah menjadi bubur..

Dina masuk ke warung itu membeli sebotol air mineral. Lalu Dina duduk di bangku panjang yang tak jauh dari sana sambil menegak tandas minumannya. Dina kembali menangis. Banyak pertanyaan yang melintas di benaknya. Ia akan tidur dimana? Bagaimana ia bisa ke kantor besok pagi? Atau ia balik ke kampung saja? Gimana mau balik, uang sepersen pun ia tak punya. Dina menangis sampai sesenggukan.

Tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan pandangan Dina. Dina menghentikan tangisnya, cepat disekanya air matanya. Ia mengernyit melihat mobil yang berhenti di hadapannya itu. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik di usianya keluar dari sana, menghampiri Dina. "Kamu teman Tama kan?" tanya wanita paruh baya itu pada Dina. Dina mendongak heran. "Hah?" hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya.

"Iya kamu teman Tama yang waktu di lift itu kan? Kamu kenapa nangis? Sendirian pula malam-malam begini bawa tas. Kamu mau kemana?" tanya wanita paruh baya itu beruntun. Dina mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengingat siapa sosok di hadapannya ini. Teman Tama? Di lift? Dina berpikir sejenak. Hingga akhirnya ia bersuara. "Astaga! Ibuk mamanya pak Galang?" Dina terlonjak bangkit dari duduknya. Disalimnya Bunga-mamanya Tama.

"Kok astaga sih? Iya saya mamanya. Tadi saya kebetulan lewat, lihat kamu nangis di pinggir jalan begini, ada apa?" Bunga menarik Dina duduk kembali.

Kedua tangan Dina saling meremas menatap Bunga. Ia bingung, antara berkata jujur tentang keadaannya sekarang atau membuat alasan lain. Tapi bisa saja mama Tama membantunya kan? Lihat lah, sosok yang di hadapannya ini begitu perduli padanya. Mau repot-repot turun dari mobil mewahnya hanya untuk menanyakan keadaannya yang tengah menangis di pinggir jalan sambil membawa tas.

"Ada apa?" tanya Bunga lagi. Dina menarik nafas lalu membuangnya perlahan. Ia pun menceritakan semua pada Bunga terkecuali alasan mengapa ia pindah kos.

"Yaampun.." Bunga membawa Dina yang terisak ke dalam pelukannya. Bunga merasa kasihan pada Dina setelah mendengar ceritanya. Diusapnya punggung Dina yang bergetar. Entah kenapa Bunga merasa Dina mengingatkannya pada seseorang yang sudah bertahun-tahun lamanya tak pernah ia jumpai lagi. Wajah Dina sekilas mirip orang itu. Teman lamanya.

"Yaudah, kamu tinggal di rumah aja yah?" ucapan Bunga itu sontak membuat Dina melepaskan pelukan Bunga. Ditatapnya Bunga dengan tatapan tak percaya. Tak percaya ada orang sebaik itu di kota besar ini.

"Enghh tapi buk, saya..saya bayar pakai apa? Saya gajiannya baru minggu depan, buk. Em..per bulannya saya harus bayar berapa?"

Bunga tertawa mendengarnya. "Nggak usah bayar." Bunga tersenyum hangat.

Hey Dina! ✔️Where stories live. Discover now