Chapter 3

15.3K 1.4K 76
                                    

Dina menyeruput ice strawberry yang dipesannya. Duduk di salah satu cafe yang ada di seberang kantor, berdua dengan Ika teman satu divisinya yang tadi sudah berbaik hati memberitahukannya dimana ruangan Tama. Ngomong-ngomong soal atasannya itu, Dina sedikit penasaran.

"Umm..oya mbak Ika, Dina mau nanyak sesuatu" Dina meletakan mug bermotif polkadot yang kini berisi setengah ice strawberry itu di atas meja. Diraihnya tisu untuk membersihkan sudut-sudut bibirnya.

"Jangan panggil mbak deh. Kesannya aku tua banget, padahal kita cuma beda dua tahun. Emang kamu mau nanyak soal apa?" sewot Ika sambil menyedot habis minuman lemon tea-nya.

"Hehe gitu ya? Oke deh, Ika.." Dina nyengir. "Gini..aku mau nanyak soal pak Galang. Dia itu orangnya gimana sih?" sambung Dina kemudian.

"Maksudnya pak Tama?" tanya Ika memastikan. Dina mengangguk. "Pak Tama itu orangnya tegas dan terkesan dingin. Dia itu paling pelit senyum, beda banget sama pak Gilang yang ramah dan murah senyum"

"Pak Gilang?" Dahi Dina mengkerut.

"Iya, papanya pak Tama" sahut Ika.

"Ohh.. terus apa lagi? Mm..maksudku pak Galang itu suka gangguin karyawan perempuan nggak?" seketika tawa Ika menggelegar karena mendengar ucapan Dina. Saat disadarinya tengah menjadi pusat perhatian orang lain Ika langsung meredam tawanya.

"Kok ketawa sih?" Dina mengerucutkan bibirnya.

"Yang benar aja pertanyaan mu, ngaco ah! Aku udah bilang, pak Tama itu dingin dan pelit senyum. Jadi nggak mungkin lah gangguin karyawan kayak kita ini"

"Gitu ya?" ucap Dina pelan, seakan ia bertanya pada dirinya sendiri. Bayangan mereka bertemu di lift pagi tadi muncul di benaknya.

"Iya! Tapi yang aku tahu, e..denger-denger gosipnya sih ya, pak Tama itu suka kencan sama model-model gitu" kata Ika. "Huhh ya iyalah secara dia kan orang kaya pake banget, nggak mungkin sukanya sama karyawan biasa yang body dan wajahnya biasa-biasa juga" sambung Ika sedikit sewot.

"Ohhh.. iya-iya" Dina hanya manggut-manggut, menyetujui Ika.

"Jangan-jangan kamu suka ya? Tadi langsung klepek-klepek pas ketemu pak Tama kan?" tebak Ika asal, telunjuknya mengarah ke Dina dengan matanya yang menyipit.

"Ha?! Enggak-enggak!" Dina menjawab cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tegas.

"Kalau suka sama pak Tama cukup disimpan dalam hati aja. Soalnya pernah kejadian, ada beberapa pengagum pak Tama yang sampai berani nitip surat dan kado gitu ke sekretaris pak Tama untuk dikasi langsung sama pak Tama. Eh besoknya hmm..kamu tahu apa yang dilakuin pak Tama?" tanya Ika. Dina menggeleng. "Pak Tama motong gaji mereka sebesar lima puluh persen, selama tiga bulan. Bayangin tuh betapa sedihnya mereka" jelas Ika.

"Serius?!" Dina menutup mulutnya yang menganga. Dina tak percaya.

"Beriburius! Pak Tama nggak pernah main-main. Baginya kerja harus profesional, jangan melibatkan hati apalagi mengusik ketenangannya" jelas Ika lagi.

Mengusik ketenangannya?

Dina membulatkan matanya. Potongan kejadian demi kejadian bersama Tama menari-nari di benaknya. Dalam sehari ini saja Dina sudah berani menuduh Tama sembarangan. Dina sudah menggigit tangan Tama, dan itu dilakukannya sebanyak dua kali. Dina juga menginjak keras kaki Tama. Yang paling parahnya lagi, Dina sudah menampar atasannya itu!

Astagaaa, bagaimana ini?! Apa gajinya akan dipotong juga selama tiga bulan? Kenapa hari pertamanya berkerja sesial ini sih?! Aaarggghh... Rasanya Dina ingin mencabuti seluruh rambutnya. Ia benar-benar mengutuk dirinya sendiri yang terlalu lancang.

Hey Dina! ✔️जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें