Chapter 8

11.2K 1.3K 114
                                    

Satu minggu kemudian..

Dina sudah menerima gaji pertamanya. Meski dipotong lima puluh persen dan hanya menerima dua juta lagi, Dina tetap berniat mengembalikan uang yang sudah dipinjamkan Bunga untuknya. Namun wanita paruh baya itu menolak dengan halus, dan malah memintanya agar tetap tinggal disana. Terlebih setelah Bella-putri bungsunya pergi keluar negeri menekuni dunia ballet. Bunga jadi merasa kesepian. Maka dengan kehadiran Dina ia akan merasa lebih baik.

Melihat wajah Bunga yang memelas Dina pun seperti terhipnotis menganggukan kepala, menyetujuinya. Dina jadi teringat dengan Bundanya jika begini. Tapi Bundanya tidak akan kesepian, karena masih ada kakak perempuannya yang menemani.

Ngomong-ngomong soal pria arogan yang merangkap jadi atasan menyebalkan itu.. membuat Dina belakangan ini jadi lebih penurut dan tak pernah menampilkan raut kesalnya lagi dalam setiap perintah pria itu. Dina tak tahu pasti apa penyebabnya. Tapi mungkin saja karena insiden pelukan di ujung tangga minggu lalu yang membuat jantungnya berdegub kencang. Apalagi kini setiap mereka bertemu wajah Dina langsung merona serta menghangat dengan sendirinya, dan ingin cepat-cepat menghilang dari hadapan Tama.

Drrt..drrtt..
Satu pesan masuk tertera di layar ponsel Dina. Dua hari lalu ia membeli ponsel ala kadarnya, yang penting bisa kirim pesan dan bertelepon itu sudah cukup. Dina yang duduk di tengah kasur, merangsek mendekati nakas di samping, lalu meraih ponsel itu. Dibuka dan dibacanya, ternyata pesan singkat dari Ika-teman satu devisinya. Ika mengajaknya malam ini pergi bersama ke perayaan ulang tahun perusahaan.

Dina yang tak punya pakaian yang cocok untuk kesana, akhirnya membalas pesan Ika kalau ia tak bisa pergi. Untungnya Ika tak menanyakan lagi alasannya apa. Kalau tidak, Dina agak malu mengakui tak punya gaun. Padahal ia sudah tinggal di kota besar, perkara itu saja ia tak punya. Andai gajinya tak dipotong, mungkin Dina akan membeli gaun dan bisa pergi ke perayaan itu. Dina pun menghembuskan nafasnya dengan keras.

Dina berjalan keluar kamar menuju dapur. Dina membuka kulkas dua pintu itu, lalu meraih sebotol air dingin dan membawanya di meja. Sambil duduk Dina menegak minuman dingin itu.

"Loh kenapa kamu belum siap-siap?" Bunga yang datang dari ambang pintu mengernyitkan kening menatap Dina.

Dina yang tahu kemana arah pertanyaan itu, mengusapi tengkuknya sambil tersenyum kikuk. Ia tak tahu harus jawab apa, ia bukan pembohong yang handal.

"Ada apa?" tanya Bunga yang kini sudah mengambil tempat duduk disamping Dina.

"E..enghh.."

Bunga memicingkan mata menatap Dina. Dina yang ditatap begitu akhirnya menjawab jujur.
"Sa..saya nggak punya gaun buk" ucap Dina dengan lesu.

"Oh itu. Ayok ikut kemari!" Bunga tersenyum seraya menarik Dina bersamanya menuju kamar Bella.

"Kamu mau yang mana? Kalau dilihat-lihat.. saya rasa ukuran kalian sama" ucap Bunga yang mengeluarkan satu per satu gaun itu dari dalam lemari.

"Ini kan punya mbak Bella, buk. Enghh.. nggak usah buk. Nanti mbak Bella marah. Saya nggak jadi aja deh perginya" ujar Dina panik.

"Bella itu nggak pernah mau pakai gaun yang sama, sekali pakai doang. Jadi, nggak papa kalau kamu pakai" Bunga tersenyum hangat.

"Beneran..buk?" tanya Dina memastikan. Bunga pun mengangguk mantap dengan sudut bibir yang melengkung ke atas.

***

Hey Dina! ✔️Where stories live. Discover now