Chapter 4

11.4K 1.2K 55
                                    

Sudah hampir dua minggu berlalu sejak kejadian di club itu. Dina merasa menjadi orang yang paling sial di dunia ini. Belum genap sehari berkerja, bahkan dalam hitungan jam saja ia sudah harus merelakan gaji pertamanya bulan depan dipotong sebanyak lima puluh persen. Ralat, bukan hanya untuk bulan depan, tetapi juga untuk lima bulan berikutnya. Benar-benar membuat Dina meradang. Ini semua berkat Lili dan buku biadab itu!

"Saya mau minum kopi sebentar" Dina mendongak melihat pemilik suara berat yang menyapanya itu. Dina menghela nafas. Siapa lagi kalau bukan Galang Pratama Mahendra. Bos besar yang sudah memotong gajinya! Dina benar-benar harus sabar, tenang... jangan sampai ia berbuat hal-hal yang tidak disukai pria itu hingga gajinya bisa saja dipotong lebih besar lagi.

Dina menampilkan senyumnya. "Silahkan pak.."

"Saya nggak suka minum sendirian. Karena Arga nggak ada disini, Jadi kamu yang temani saya" ucap Tama bernada memaksa.

Saat ini Dina dan Tama sedang berada di bandara Soekarno-Hatta. Pesawat mereka menuju bandara Ngurah Rai Bali mengalami delay lima puluh lima menit.

Sebenarnya, ini sudah yang ke-empat kalinya Dina pergi ke Bali dalam rangka mengurusi resort klien mereka-yang tak lain dan tak bukan adalah milik teman dekat Tama yang bernama Rio. Biasanya selama tiga kali berturut-turut Arga-kepala divisi bagian interior selalu ikut. Tapi kali ini tidak, Arga punya tugas projek baru lain. Jadi lah mereka hanya berdua.

Dina menatap Tama yang tengah menatapnya seperti tatapan Elang. Seolah mengirimkan pesan Dina harus ikut, jika tidak maka ia bisa berakhir detik ini juga.

Lagi dan lagi Dina menghela nafas dan berusaha menampilkan senyumnya. "Baik pak" lalu Dina berdiri dari duduknya.

"Bagus" hanya itu yang diucapkan Tama sebelum pria itu melangkah yang diikuti Dina dari belakang.

***

"Kamu pesan aja mau yang mana" ujar Tama setelah menyebut kopi pesanannya pada waiter yang berdiri di hadapan mereka.

Dina menoleh menatap Tama. "Boleh pak?"

"Ya boleh lah" Tama tersenyum sinis. Dina mencebik sebal melihat itu. Tapi Tama mengizikannya untuk memesan sesuatu di resto elit ini. Itu berarti, Dina bisa pesan apa saja kan? Pria sinis, dingin dan menyebalkan itu yang bayar, batin Dina. Saat melihat daftar menunya, Dina memesan roti dan kopi yang total harganya Dina hitung sendiri, seratus empat puluh enam ribu rupiah. Dina berniat menguras uang Tama, walaupun sebenarnya jumlah itu tak ada apa-apanya bagi Tama. Yang jelas, Dina merasa dendamnya perihal gajinya yang dipotong itu lumayan terbalaskan lah. Hihi.. Dina senyum-senyum sendiri.

"Kamu kesambet?" Seketika Dina cemberut. Sial! Pria dihadapannya ini bernar-benar membuatnya geram. Setiap bicara Tama pasti selalu mengeluarkan kata-kata yang tak enak didengar oleh telinganya.

***

Tama mengeluarkan selembar uang seratus ribu. "Kembaliannya mas.." ucap waiter wanita itu tersenyum sembari mengulurkan tangan pada Tama. "Ambil aja" ucap Tama datar tanpa mau memamerkan senyum memikatnya. Ia tahu wanita itu tengah tebar pesona padanya. Dina juga tahu itu. Dasar pria cassanova. Wanita itu tidak tahu saja sikap menjengkelkan Tama, batin Dina berdecak.

"Eeeeh, mbak mau kemana!?" wanita itu menahan lengan Dina saat Dina hendak berjalan keluar mengikuti Tama. Alhasil Dina menoleh dan membalikkan badan berhadapan dengan wanita itu. "Ya saya mau pergi, mbak. Ada apa ya?" tanya Dina heran. Ia dan wanita itu pun kini menjadi pusat perhatian yang lainnya disini.

"Mbak belum bayar"

"Apa?!" mata Dina membola, bukannya Tama sudah membayar pesanannya? Atau...

"Iya, mbak belum bayar" tegas wanita itu. Dina menoleh ke belakang. Melihat Tama yang berdiri di dekat pintu. Sekilas Dina bisa melihat senyum jahil pria itu. Jadi ia yang dikerjai??! Niat hati ia yang ingin balas dendam pada Tama, tapi justru ia yang- huaaaa demi apaaa... rasanya Dina ingin menangis di pojokan sambil menghantuk-hantukkan kepala ke dinding. Ia merasa jengkel dan malu bersamaan.

Hey Dina! ✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora