- 6 -

499 24 0
                                    

Tak terasa sudah tiga hari aku berada di Jogja dan tiga hari itu pula hujan lebat seharian. Aku dan Mas Ello tidak jadi ke Sekaten. Aku sedih dan galau, sedangkan Mas Ello bermain game di laptopnya. Vania juga seperti itu, kerjaannya setiap hari hanya membuka Instagram. Apa sih serunya?

Aku tidak ada kerjaan sekarang. Mami dan tante pergi ke pasar, sedangkan om dan papi pergi jalan-jalan mencari rumah yang di jual. Aku hanya bisa melihat sepotong Kota Yogyakarta dari atas balkon lantai dua rumah Mas Ello.

Tadi pagi Namira dan Anya meneleponku, mereka bilang bahwa mereka kangen ingin ngobrol bersama lagi. Namira ada di Batam dan Anya ada di Lombok. Pasti liburan mereka menyenangkan.

Lalu bagaimana dengan Rafif? Aku sama sekali tidak rindu padanya. Tadi malam aku meneleponnya dan tak ku sangka malah mamanya yang mengangkat. Beliau bilang kalau Rafif sedang belajar. Apa-apaan ini? Punya pacar kok seperti itu, rasanya ingin putus saja.

"Doorr!" Mas Ello datang mengagetkanku.

"Kenapa sih mas?" Aku memandangnya sinis.

"Ngapain kamu galau disini? Mikirin cowok yaa? Hayoooo."

Dia mulai rempong. Datang mengagetkanku sambil menebak-nebak seenaknya. Rambut Mohawk-nya acak-acakan seperti baru diterpa puting beliung. Sangat memalukan. Dia tak sadar akan hal ini.

"Nanti malem aja ke Sekaten yok kalo ndak hujan."

"Dari kemaren bilang gitu terus mas."

"Ya habisnya hujan terus sih. Eh, main catur yok dek?"

"Nggak bisa mas."

"Duh, kamu ndeso ya."

Aku hanya mendiamkannya dan kembali memandang kompleks perumahan Mas Ello dari atas balkon. Mas Ello merangkul pundakku, tahun ini sepertinya kami lebih akrab dari pada tahun-tahun sebelumnya.

Jelas saja, tahun-tahun sebelumnya aku tak mau bertemu Mas Ello karena dia terlalu ganteng. Dulu aku tidak mau menatap matanya karena bila hal itu terjadi, malamnya aku tidak bisa tidur. Tapi sejak Mas Ello potong rambut jadi mohawk, aku tidak takut lagi memandangnya dekat-dekat seperti ini. Kerena jujur, gantengnya berkurang.

"Kok dulu kamu nggak pernah deket sama aku ya La?"

Aku tak berani jujur, apa kata Mas Ello bila ia tahu bahwa aku menyukainya? Bisa gawat, bahkan mungkin dia bisa melaporkannya pada mami papi. Walau aku yakin Mas Ello bukan orang yang suka mengadu, tapi tetap saja ada kemungkinan.

"Kan dulu aku masih kecil, Mas Ello sudah besar." Dustaku.

"Masa cuma gitu doang? Terus sekarang mentang-mentang udah SMA, kamu sudah besar gitu?"

"Ngga juga sih, bodo amat lah, yang penting sekarang kita kan deket hahaha."

"Mungkin dulu kamu nggak enak mau deket-deket sama aku karena ada Karti ya? Tapi kan kita sepupu dek, kita bisa lebih mesra daripada pacaran hahaha."

"Y."

"Ndak papa La, yang penting sekarang kita bisa jadi kakak adik paling gokil sedunia, yuhuuuu."

Haduh, dia ini apa-apaan sih? Apa semua mahasiswa teknik kalau ngomong begini ya? Apa mereka pusing karena terlalu banyak pelajaran hitung-hitungan? Entahlah.

Mas Ello masuk ke kamar karena HP-nya berbunyi, aku lega, dengan begini aku bisa menghubungi Rafif yang sedari tadi berkeliaran dalam pikiranku. Kira-kira siang ini dia sedang apa ya?

IZINKAN AKU MEMILIH [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang