- 9 -

235 10 0
                                    

Sinar matahari pagi yang mulai terik langsung menyambarku ketika aku baru saja membuka pintu balkon. Aku terkejut melihat Mas Ello sedang senam pagi disana. Aku ingin segera balik badan dan pergi meninggalkannya tapi Mas Ello sudah menyadari kehadiranku.

"Adrela." Suara Mas Ello benar-benar tak ingin ku dengar.
"Kenapa kamu tadi malem?" Lanjutnya.
"Nggak papa kok mas."
"Turun dari motor kok langsung masuk kamar?"
"Aku capek mas." Dustaku.

"Capek ngapain? Harusnya mas yang capek nyariin kamu lari-lari keliling Sekaten! Atau jangan-jangan..." Mas Ello menyipitkan matanya. Dia terlihat menawan, tapi tak ada waktu untuk menganguminya.

"Karena cowok itu ya?" Mas Ello melirik tajam. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Mas Ello menaikkan kedua alisnya, menatapku menang. Seakan-akan dia tahu apa yang ada dalam pikiranku.

"Iya kan? Ya ampun Adrel, apa sih bagusnya pembalap itu? Hidupnya ndak bener, dia-"

"Mas! Jangan asal menghakimi orang dong! Dia itu nggak kayak yang mas pikir!"

"Tapi kan kamu belum kenal sama dia, La. Apa modal kamu percaya sama dia hah?"

Seandainya Mas Ello jadi aku, pasti dia akan merasakan hal yang sama, merasakan semua kegalauanku. Tapi aku harus tahu diri, aku seharusnya berterima kasih padanya karena telah mengajakku ke Sekaten. Tanpa Mas Ello, aku tidak akan pernah bertemu dengan Rob.

"Mas, terima kasih ya." Aku berkata tanpa memandang wajahnya yang berapi-api.

"Makasih buat apa? Kamu mau ngalihin pembicaraan?"

"Terima kasih karena sudah ngajak aku ke Sekaten."

"Karena kamu ketemu cowok itu?"

"Nggak itu aja mas, kita juga udah seneng-seneng berdua."

Mas Ello mengangguk.

"Jangan cuma gara-gara cowok ndak jelas itu bisa ngerusak hari-hari liburan kamu loh dek."

"Iya mas, nggak akan."

Aku berbalik, berjalan menuju tangga turun ke ruang tengah. Hatiku tidak sesuai dengan kondisi badanku yang sehat sentosa. Ada sesuatu yang mengganjal, rasanya aneh, dan membuatku galau seharian. Mas Ello ku tinggal di lantai atas dan dia masih melanjutkan senam paginya. Hampir gila aku mendengar semua pendapat buruknya tentang Rob. Tak ada seorang pun yang merasakan apa yang aku rasakan saat ini.

"Adrela." Mami memanggilku dari bawah tangga.

"Apa mi?" Aku berjalan turun.

"Tadi malem Tante Luna nelpon, mami bilang kalau kita sekeluarga lagi ada di Jogja."

Aku mengerutkan dahi. Sebenarnya aku malas meladeni mami karena hatiku yang sedang galau, tapi aku mencoba untuk antusias. Tante Luna adalah tetanggaku di Palembang. Empat tahun terakhir ini kami berpisah karena beliau pindah ke Jogja karena Om Anton, suaminya, pindah tugas dinas. Tante Luna punya anak seumuranku, namanya Disa, aku akrab sekali dengan anaknya yang satu itu.

"Oh ya? Gimana kabar Disa bu?"

"Kabar baik sekeluarga, kata tante kamu disuruh tidur disana, kamu kan sudah lama nggak ketemu Disa."

"Boleh mi?"

"Boleh, tapi kita ke rumah eyang dulu besok."

Aku mengangguk, semoga keceriaan Disa yang sudah lama tak ku lihat bisa menyembuhkan kegalauanku. Sekaligus menghindari Mas Ello yang beberapa menit terakhir ini uring-uringan denganku. Aku mengambil handuk di jemuran belakang dan segera mengurung diri di kamar mandi.

IZINKAN AKU MEMILIH [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now