- 7 -

222 12 0
                                    

Aku membuka pintu balkon perlahan, sinar matahari langsung menerobos masuk. Tumben hari ini cerah, biasanya pagi-pagi seperti ini Jogja hujan. Aku berharap semoga hari ini tidak hujan sampai malam, aku ingin ke Sekaten. Aku benar-benar penasaran seperti apa serunya Sekaten. Hatiku sudah memanggil-manggil untuk ke sana.

Seekor burung kecil hinggap di pagar balkon sambil membawa sebuah ranting. Aku mengahampirinya dan burung itu langsung terbang meninggalkanku. Hmm, aku jadi ingat dengan Rafif. Pernah ada seekor burung kecil menghampiri kami saat kami sedang berduaan di pantai. Burungnya hampir sama dengan burung tadi, cuma bedanya dia tidak membawa ranting. Jadi kepikiran Rafif, sekarang dia lagi apa ya? Tadi malam baru saja putus.

Selama pacaran, kami hanya jalan seminggu sekali. Itupun kalau Rafif sempat, kalau tidak sempat ya kami tidak jalan. Aku ini termasuk cewek beruntung yang bisa mendapatkan cinta Rafif. Banyak sekali cewek yang menginginkannya sampai mereka memusuhiku, salah satunya si Evina. Sejak aku menamparnya, dia tak berani lagi mengganggu Rafif.

"Hayoooo! Mikirin cowok!" Mas Ello yang baru bangun tidur dan belum gosok gigi langsung menyergapku dari belakang. Hampir saja aku pingsan.

"Belum gosok gigi ya mas?"

"Ups!" Mas Ello menutup mulutnya dan merasakan nafasnya sendiri. Ya ampun!

"Eh, udah putus belom?" Dia tidak peduli dengan hawa naganya.

"Udah, semalem mas. Bener apa yang Mas Ello bilang kalau Rafif juga punya pikiran untuk putus, cuma nggak enak aja sama aku."

"Masalahnya dulu aku juga kayak gitu."

"Sama siapa? Sama Karti?"

"Haduuh! Dia lagi dia lagi! Kamu ini kenapa sih dek? Cewekku kan banyak bukan cuma Karti doang!"

"Oh kirain. Habisnya yang unik cuma dia."

"Iya sih memang. Eh, semoga ndak hujan sampe malem ya La. Sekaten Sekaten." Mas Ello menaik-naikan alisnya.

"Iya mas, aku jadi pengen ke sana loh."

"Mau cuci mata? Sama. Aku juga pengen ngeliatin cewek."

"Dih!"

Aku memandang Mas Ello yang sedang tertawa. Mata Mas Ello tetap sama seperti mata yang memandangku dulu, yang membuat aku takut. Matanya tegas dengan manik mata berwarna hitam pekat tanpa menyisakan warna lain. Alis matanya melengkung indah, aku jadi ingat saat-saat aku menyukainya. Untung saja dia potong rambut mohawk, jadi aku tidak takut lagi memandangnya. Mas Ello adalah kakak yang seru dan aku baru menyadarinya sekarang.

Saat ini aku murni menganggapnya sebagai seorang kakak. Lagian aku juga tidak punya kakak cowok, yang ku punya hanya adik perempuan menyebalkan yang rempongnya minta ampun. Hmm, kalau saja Mas Ello tidak berpotongan mohawk, mungkin sampai sekarang aku masih menyukainya.

"Mas, gosok gigi dulu sana."

"Nanti sih dek, biasa gini kok. Kamu aja yang baru pertama kali nyium."

"Ya ampun."

"Mau mas cium gak?"

"Nggak! Dih! Udah deh, aku mandi dulu!"

"Halah kamu juga belum gosok gigi kan? Sok wangi ah."

Aku mendorong Mas Ello jauh-jauh saat dia hendak memelukku. Sumpah! Bau mulut orang bangun tidur itu mengerikan. Selama ini Mas Ello selalu harum, tapi setelah ketahuan aslinya benar-benar berbanding terbalik.

***

Aku mencari kaus biruku di dalam koper yang ku bawa. Sial, tidak ada! Aku turun dan mengobrak-abrik koper papi, biasanya aku sering menitipkan baju di koper orang tuaku saat koperku tidak muat. Astaga, tidak ada juga. Haduh, padahal itu kan baju kesayanganku yang ku beli dengan susah payah di Matahari saat sedang diskon besar-besaran. Aku merasa sudah membawanya, tapi dimana ya?

"Heh nak, ngapain kamu bongkar-bongkar koper papi?" Mami tiba-tiba datang.

"Mi, baju biruku dimana?"

"Baju biru yang mana? Baju kamu kan banyak yang warna biru, nak." Mami berdecak pinggang memandangku.

"Yang ku beli pas diskon di Matahari. Cool Teen mereknya, itu loh yang ada gambar orang senyum gede banget. Masa mami nggak tau sih?"

"Ada di koper Vania, lupa ya kalau kamu nitip di koper dia karena kopermu nggak muat?"

Ting! Aku langsung ingat. Waktu itu aku menyelipkannya di koper Vania karena koperku tidak muat. Banyak sekali kaus yang ku bawa, malah kaus favoritku sendiri saja aku lupa.

"Oh iya, aku lupa." Aku berlari meninggalkan mami, tapi mami langsung menarik lenganku.

"Heh! Beresin koper papi. Kamu udah ngacak-ngacak nggak jelas."

"Huuu!"

"Kamu mau kemana sih? Tumben sore-sore udah mandi?"

"Ke Sekaten mi."

"Sama Mas Ello?"

"Iya berdua aja."

"Hati-hati nak, dompet sama HP di jaga. Bawa kamera nggak kamu?"

"Bawa mi. Iya aku hati-hati kok."

Aku membereskan koper papi sampai rapi seperti semula. Rencananya malam ini kami ingin pergi ke rumah eyang karena eyang sakit sekaligus temu kangen. Tapi Mas Ello memaksa bahwa aku dan dia ingin pergi ke Sekaten malam ini juga karena takut hujan di malam-malam berikutnya. Akhirnya om, tante, dan kedua orang tuaku memutuskan untuk pergi ke rumah eyang pada hari Natal pagi.

***

IZINKAN AKU MEMILIH [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang