- 10 -

376 14 0
                                    

Mami menghentikan mobil di depan rumah bercat biru navy bermodel minimalis dengan halaman luas yang terletak di dekat Jalan Godean. Sepertinya rumah ini baru saja dipugar, melihat banyaknya kaleng cat dan kantong semen yang bertumpuk di dekat pagar rumah.

Aku turun dengan wajah berseri. Tak ku ingat janjiku dengan mami untuk menurunkan barang bawaan ku sendiri. Aku lari secepat kilat ke depan rumah bercat biru itu dan mengguncang pagarnya layaknya terjadi kebakaran.

"Disaaa!! Disaaa!! Nandisaaaa!!" Aku mengguncang pagar sekuat tenaga. Mami langsung melotot galak melihat tingkahku. Beliau turun dari mobil sambil membawa tas ransel berisi baju-bajuku untuk menginap di rumah Disa. Aku langsung berlari mengambil ranselku dari tangan ibu.

Seorang gadis kurus berkacamata minus mengintip dari balik gorden sambil mengerutkan dahinya. Wajahnya tampak terganggu dengan keributan diluar rumah, tapi sedetik kemudian wajahnya tampak gembira melihat siapa yang membuat sumber keributan itu. Aku.

"Adrela? Bener Adrela kan?" Ujarnya sambil membuka pintu pagar.

"Iyaaa ini aku oii!! Masa lupa."

"Huaaaaaaaaaa Adrelaaa!! Mamaaaa, ada Adrelaa maaaaaa!!" Disa berteriak kalap sambil berlari membuka pagar. Kami berdua berpelukan sambil melompat-lompat riang.

Biasanya orang yang sudah terpisah lama, bila bertemu pasti akan canggung dan jaim. Tapi hal itu tidak terjadi padaku dan Disa. Kami tetap seperti biasa, berpelukan dan berteriak-teriak seperti di hutan.

"Kok tetep kurus sih Dis?" Tanyaku pangling.

"Aku nggak pernah makan malem gitu loh. DIET!" Disa tersenyum bangga. Dia memang dasarnya sudah kurus, masih saja berjuang untuk lebih kurus lagi, aku tak tahu jalan pikirannya.

"Cieeee manjangin rambut yaaa, tambah cantik La."

"Kakakakakak kayaknya aku cantik dari dulu." Aku menyibakkan rambutku dengan bangga.

"Nandisa apa kabar?" Mami memandang aku dan Disa yang masih berpelukan dan melompat-lompat girang. Lupa dengan keadaan sekitar.

"Tanteeeeee!!!! Baik tante. Tante sendiri gimana kabarnya? Aku kangen nih."

"Baik dong. Mamamu baik juga kan?" Mami memeluk dan mengusap rambut Disa layaknya anak sendiri.

"Baik semua tante. Ayo masuk La, tante. Mama lagi ada di dapur, tadi pagi kan tante telpon, makanya mama masak buat makan siang."

"Ya ampun Dis. Kok repot-repot padahal tante sama Adrel baru aja makan siang."

"Nggak papalah tante, kita kan jarang ketemu. Makan lagi disini, masa nggak kangen sama masakan mama? Hehehe."

Aku dan mami duduk di sofa ruang tamu Disa. Ternyata setelah diperhatikan lebih lanjut, rumah ini tidak sebesar yang aku kira. Ruang tamunya mungkin hanya seluas kamar Mas Rivan. Walau begitu, rumah Disa terlihat bersih dan rapi. Yaa maklum sajalah, anak Tante Luna kan sudah besar-besar. Coba saja kalau anaknya masih kecil, tak bisa ku bayangkan rumah ini akan jadi kapal pecah.

"Haloo mbakku, apa kabar?" Tante Luna datang dari arah dapur masih dengan celemek masak yang terpasang dibajunya. Mami langsung berdiri antusias menyambut mantan tetangganya. Mereka berdua berpelukkan sambil cipika-cipiki.

"Lun, yak ampun tambah berisi." Komentar mami ku. Ada kejujuran di dalam nada suaranya, bukan sindiran.

"Ah mbak, iya nih di rumah terus nggak ada kerjaan. Nanti makan disini ya."

"Wah Lun repot-repot. Eh, mana Om Anton? udah lama nggak ketemu."

"Nggak papa mbak, jarang-jarang kok. Mas Anton lagi dinas ke Jakarta."

Pandangan Tante Luna beralih padaku. Aku menyengir lebar melihat tanteku yang sudah lama tak ku lihat. Tante Luna seakan jadi mami kedua bagiku saat berada di Palembang. Jadwal mainku ke rumahnya tak dapat dihitung dengan jari.

"Adrela, sudah besar bener nak, wajahmu mirip banget sama Mas Rudolf." Tante menyebut nama papiku sembari bersalaman dan cipika-cipiki denganku. Hampir setiap orang yang mengenal keluargaku selalu saja bilang kalau wajahku adalah wajah papi versi cewek, ya bagaimanapun aku ini anaknya, lebih baik begitu daripada tidak mirip siapa-siapa hahaha.

"Apa kabar tante? Aku izin tidur sini yaa."

"Baik dong. Lah iya ndak papa, sampai liburan habis juga juga boleh nak. Temu kangen sama Disa, kalian sudah lama banget nggak kumpul bareng kan?"

Akhirnya mami dan Tante Luna ngobrol seru di ruang tengah sampai tak ingat waktu. Tante mempersilahkan aku untuk membawa ranselku ke kamar Disa. Disa senangnya bukan main, dari tadi dia berjingkrak-jingkrak gembira sambil mendorong-dorong aku, kebiasaannya dari kecil bila kami bertemu.

"Kamarmu asyik ya Dis." Aku memandang kamar Disa yang dindingnya dicat warna kuning gading. Kamar ini tidak luas dan terkesan terlalu simpel. Perabotannya tidak semeriah anak remaja pada umumnya. Hanya ada spring bed tingkat, meja belajar kayu dengan lampu tidur sekaligus lampu belajar, serta lemari pakaian. Sudah hanya itu. Sedari dulu Disa memang terkenal sebagai manusia yang anti keribetan.

"Apanya yang asyik La?"

"Nggak ribet sumpah."

"Ah, males kalau banyak prabot. Gini aja udah cukup. Aku kan pemales, jadi gampang bersihin kamar kecil begini."

"Good! Berarti bukan cuma aku aja yang pemales hehehe."

"Berapa lama disini La?" Tanya Disa antusias.

"Empat hari boleh nggak?"

"Lah kenapa nggak sampai liburan habis aja sih La? Itu mah sebentar banget." Disa kecewa, pandangan matanya memancarkan harapan agar aku bisa menginap lebih lama disini. "Tapi yang penting kamu udah nginep sini aku udah seneng banget." Disa menarik spring bed tingkatnya dan meletakkan dua bantal di sana. Satu bantal Winnie The Pooh dan satunya lagi bantal guling.

"Kamu mau dimana La? Di atas apa di bawah?"

"Bawah dong Dis, dimana-mana tuan rumah harus di atas." Aku menghempaskan diri ke atas spring bed Disa layaknya rumah sendiri. Tak ada kata malu di sini.

"Halah begituan doang dipikirin. Eh Vania mana?"

"Anak itu nggak mau ikut. Dia bilang kalau kamu udah ketemu aku, dia pasti dikacangin."

"Masih bawel nggak dia? Apa udah tambah dewasa?"

"Makin bawel Dis. Mulutnya sama kayak cabe, sama-sama pedes."

Aku kembali mengingat tragedi Karti dan wajahnya. Dengan polos Vania berkata bahwa Karti jelek. Sejujurnya, Vania memang benar. Mungkin untuk lima hari ke depan aku tidak akan mendengar segala ocehan Vania. Itu bagus, aku memang bercita-cita untuk menjauh darinya.

Mungkin kepergianku ke rumah Disa sama sekali tak dianggap olehnya. Tapi lihat saja bila tab-nya rusak, wah dia bisa nangis tujuh hari tujuh malam. Menurutku Vania lebih mencintai tab-nya dari pada kakaknya sendiri.

"Mas Angga mana Dis?"

"Lagi pergi sama temennya, paling nanti sore pulang. Dia kebiasaan nggak pernah di rumah."

Aku mengangguk paham. Memang dari kecil Mas Angga tak pernah betah di rumah. Sejak SD kerjaannya hanya keluyuran. Dia bisa ditemukan di tempat-tempat sewa PS dekat sekolah. Kalau tidak pulang, sudah pasti dia ada di sana bersama teman-temannya. Mas Angga rela tidak jajan asal uang jajannya ditabung untuk main PS.

Mas Angga adalah kakak Disa satu-satunya. Mereka hanya dua bersaudara. Hubungan kakak beradik mereka berjalan mulus tanpa banyak pertengkaran. Mungkin umur mereka yang terpaut jauh menjadi faktor utama mereka tidak bertengkar. Serta kebiasaan Mas Angga yang sering keluyuran mengakibatkan hubungan mereka tidak dekat.

Bila Disa ngambek, Mas Angga selalu mengalah, lebih tepatnya tak mau meladeni ocehan Disa. Aku iri dengan mereka, coba saja aku punya kakak seperti itu, tiap kali aku ngambek, dia yang selalu mengalah. Tak seperti Mas Ello yang meladeniku saat ngambek agar semakin menjadi-jadi.

***

IZINKAN AKU MEMILIH [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now