-Lima-

13.8K 1.4K 32
                                    

Maya menyibakkan rambutnya ke belakang. Ada perasaan tak suka saat mendapati Aaditya berbaring di kursi panjang balkon lantai atas. Sudah setengah jam Maya menunggunya di ruang santai, menatap Aaditya yang tak menyadari kehadirannya. Bahkan Aaditya sebentar-sebentar tersenyum ketika ponselnya mendentingkan notif chat.

Semua ini membuat Maya seolah terjun bebas ke dalam jurang masa lalu. Masa di mana ia menerima pengabaian dari sahabatnya. Masa di mana Aaditya teramat memuja wanita berambut gelombang dengan bibir mungil dan wajah bak boneka Barbie. Bahkan masa-masa itu masih terukir jelas di dalam benak Maya. Kisah cinta bertepuk sebelah tangan yang ia alami, cukup membuatnya serasa terbanting ke dasar jurang dan acap kali membuat jera.

Maya menghela napas, menyandarkan tubuh ke sofa yang sedari tadi ia duduki. Kembali mengenang masa-masa itu.

~o0o~

Maya mengguncang bahu Aaditya yang tengah menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Bahkan kehadiran Maya beberapa menit di dalam ruang kerjanya sama sekali tak ia sadari.

Aaditya menoleh. "Eh, kamu kapan datang?" tanya Aaditya dengan mata mengerjap.

Maya memutar bola mata. "Udah dari tadi. Kamu yang sedari tadi bengong nggak jelas," protes Maya.

Aaditya tersenyum masam, kemudian membenarkan posisi duduk sembari menerima map dari tangan Maya. Beberapa detik menggoreskan tinta pada lembaran kertas yang ada di hadapannya. Ia mengembuskan napas perlahan seraya mengembalikan berkas kepada Maya.

"May?" panggilnya.

Maya yang sedang duduk dan memeriksa kelengkapan berkas mendongak dan mengerjap. "Ya?"

Aaditya menautkan kedua jemarinya di atas meja. "Kayaknya ...." Aaditya menghentikan kata-katanya, ragu.

"Kayaknya kenapa?" cecar Maya.

"Mmm ... aku harus cepat menikah," sambung Aaditya.

Kontan Maya terkejut. Bagaimana mungkin Aaditya membicarakan pernikahan secepat ini. Maya tahu Aaditya selama ini memang baik padanya. Laki-laki karismatik dengan badan tegap ini juga kerap berkunjung dan menemani ayah Maya pergi memancing di sela hari libur. Mereka berdua sudah sangat dekat dan saling mengenal satu sama lain. Hanya saja, selama ini Aaditya belum pernah menyatakan perasaannya pada Maya.

Pernyataan Aaditya tentu saja membuat pipi Maya bersemu merah karena gugup. Ia menggigit bibir, meremas jemari dipangkuan karena tak tahu harus bereaksi bagaimana. "Ma-maksud kamu?" tanya Maya gugup.

"Iya, aku harus cepat-cepat menikahi Luna. Kamu tahu, kan, aku ...."

"Luna?" potong Maya tak mengerti. Kali ini ia lebih terkejut dari sebelumnya. Dadanya terpukul oleh jantung yang terus bertalu-talu. Kemudian rasa perih itu menelusup dalam setiap sendi dan rongga pernapasan, sehingga sesak dadanya sangat mengganggu.

Aaditya mengangkat kedua alisnya. "Iya. Kamu tahu sendiri, aku akhir-akhir ini sering pergi berdua dengannya, bukan?"

"O-oh, ya ... tentu saja aku tahu. Tapi aku pikir kalian tidak secepat itu menjalin hubungan yang terlalu jauh hanya dalam waktu beberapa bulan berkenalan."

Aaditya mengedikkan kedua bahu dan mengangkat kedua telapak tangan ke udara. "Aku pikir waktu dua bulan itu waktu yang cukup."

Maya bergeming, namun ia tak punya pilihan. Salah Maya sendiri terlambat mengatakan perasaannya. Dan saat Aaditya sudah menemukan kenyamanan dari Luna, ia baru menyadari bahwa semua sudah terlambat.

Maya tersenyum dan mengangguk pelan. "Oke, semoga Luna adalah orang yang tepat," doa Maya. Ia bangkit dari duduk dan beringsut keluar dari ruangan Aaditya setelah susah payah menahan senyum perihnya.

Luna (Repost)Where stories live. Discover now