-Dua Puluh Satu-

7K 795 86
                                    

Maya mengentakkan kaki seraya menepi di dinding. Ia setengah geram saat mencuri dengar pembicaraan Lianti dengan Aaditya. Rupanya sekretaris baru itu tidak mau dengar peringatan Maya sebelumnya. Kedua tangan Luna mengepal di sisi tubuhnya, ia menggigit bibir hingga tak sadar anyir darah bercampur lipstik merah menyalanya mengurai di bibir cantik sepagi ini.

Tidak! Di hari pertunangannya nanti, ia tak berharap sama sekali calon tunangannya itu muncur. Maya mencintainya. Sangat. Bahkan cintanya telah lama ia simpan sejak pertama kali Aaditya mengulas senyum pada saat berkenalan di upacara MOS SMA dulu. Luna yang membuat semua jalannya lebih berliku untuk mendapatkan Aaditya. Bukan begitu?

Tidak! Maya tidak ingin kehilangan Aaditya untuk kesekian kalinya.

Dengan langkah tergesa ia meraih ponsel di saku jasnya. Mengetikkan sebuah pesan dan menekan tombol kirim bersamaan dengan ia membuka pintu ruangan Aaditya tanpa permisi. Lianti yang menyaksikan itu dari mejanya hanya menggelengkan kepala tak habis pikir.

"Hai, Sayang!" sapanya manja sembari menghambur menggamit lengan Aaditya yang tengah menatap ke luar jendela.

Aaditya hanya mengangkat kedua alis, menatap sikap Maya yang tiba-tiba bergelayut manja. Mungkin bisa dikatakan, semenjak kejadian di studio foto itu, Aaditya mulai kerap membiarkan sikap Maya yang kadang kelewat berlebihan. Apalagi ini di jam kerja.

"Apa kamu butuh sesuatu?" Aaditya mengacak pelan puncak kepala Maya sembari melepas pelukan mesra tangan makhluk beraroma lembut di lengannya.

Maya mendesah jengah. Ia sedikit tidak suka dengan cara Aaditya yang tarik ulur begini, membiarkan bermanja ria, tapi melepaskannya kemudian.

Maya duduk di kursi Aaditya, menggerakkan kursi berporos itu ke kanan dan kiri dengan sebelah kaki kanan menumpu di atas kaki kirinya. Membuat kaki jenjangnya dengan perkulitan langsat sedikit terekspose karena rok di atas lututnya sedikit terangkat.

"Ayo kita ke pergi ke SMA bersama teman yang lain, mungkin semacam reuni sekalian membagikan undangan pertunangan kita," ajak Maya.

Aaditya yang tengah membuka kulkas mini di pojok ruangan menahan pintu kulkas yang terbuka. Ia kembali menegakkan tubuh dan berbalik menatap Maya. "Kita bisa meminta Pak Udin untuk menyebarkan undangan, bukan?"

Maya mendesah seraya menyandarkan kepala ke kursi dan menatap langit-langit ruang kerja berukuran 6 kali 6 itu. "Ayolah ... sekali ini saja kamu mengikuti kemauanku tanpa ada perdebatan panjang terlebih dulu, Ditya," desis Maya.

"May, aku—"

"Jangan sebut namanya di depanku, Ditya! Tidak bisakah kita pikirkan hidup kita berdua saja?" Maya bangkit dari kursi dan membelakangi Aaditya. Ia berusaha menyembunyikan deru napas frustrasi akan setiap perdebatan tentan penolakan halus Aaditya. "Aku tunggu di mobil, sekarang," pungkasnya seraya berlalu mendahului.

Aaditya mencengkeram pintu kulkas, membantingnya hingga bunyi tumbukan antar kaleng dan botol di dalam kulkas terdengar.

~o0o~

Lianti meremas ujung blazer-nya. Ia menggigit bibir gelisah saat dari ujung koridor ruangan terlihat wanita dengan flare dress bermotif bunga. Seulas senyum tipis terlihat jelas saat wanita itu sampai di depan meja Lianti. Ia mengangguk kecil.

"Siang," sapanya.

"Si-siang, Mbak—maksud saya Ibu Luna," sahut Lianti sedikit tergagap. Serasa sungkan mengetahui kenyataan status wanita berwajah tirus di depannya.

"Pak Aaditya ada?"

Lianti tersenyum bingung. "Maaf, Bu, Pak Aaditya sedang keluar. Ibu diminta menunggu di ruangannya," terang Lianti. Ia bergegas menggiring Luna ke arah ruangan atasannya dan mempersilakan Luna duduk. "Mau minum apa, Bu?"

Luna yang sudah duduk sembari menatap ke setiap sudut ruangan menoleh. "Tidak, terima kasih."

Sekretaris Aaditya itu mengangguk dan tersenyum simpul sebelum ia meninggalkan ruangan. Saat ia menutup ruangan dan kembali duduk di kursinya, gelisah menghantui. Beberapa kali ia melihat jam di ponsel, menanti kabar dari sang atasan. Aaditya melarangnya mengatakan bahwa ia sedang pergi dengan calon tunangannya itu. Lalu, ia bisa apa? Melihat wanita anggun itu menunggu tanpa kabar saja membuat Lianti sedikit miris.

Astaga! Bukan urusanmu, Lianti!

Lianti menggeleng kepala kuat-kuat dengan mata terpejam. Lebih baik ia kembali bekerja tanpa harus ikut campur urusan perkara keluarga Wijaya.

~o0o~

Setengah jam sudah Luna menunggu. Ia hampir mati kebosanan. Sudah hampir tiga kali ia bangkit, menyusuri sudut ruangan dengan jemari sesekali menyentuh jajaran pernak-pernik hiasan di meja. Beberapa kali juga ia tersenyum seraya meraba ukiran nama di plakat nama yang tergeletak pada meja berkaca gelap.

Mata lebar Luna menelisik benda kubus di sudut ruangan. Ia menggigit bibir. Setahun lalu, mantan istri pemilik ruangan ini rajin mengecek isi kulkas. Perlahan ia membuka pintu kulkas, kemudian mencebikkan bibir saat menemukan aneka minuman soda dan jus kemasan botol.

Beberapa menit ia meninggalkan ruangan Aaditya dan kembali dengan sekantong keresek putih. Empat kaleng susu steril dan sekantong kecil buah anggur ia masukkan ke dalam kulkas. Setidaknya Aaditya butuh itu semua mengingat dulu Luna rajin mengeceknya.

Itu dulu, Luna.

Luna mendesah seraya menutup kembali kulkas. Kembali menunggu untuk beberapa saat lagi. Sinar jingga sudah menerobos jendela kaca ruangan. Apakah Aaditya masih lama? Haruskah ia menghubungi ponselnya? Sejuta tanya mendorong Luna merogoh ponsel dari handbag di sofa.

Tak ada satu panggilan pun dari Aaditya, hanya ada notif chat dari Cinta. Luna menutup notifikasi chat dari Cinta tanpa membacanya. Lebih baik pulang saja. Mungkin Aaditya sibuk mempersiapkan pesta pertunangannya.

Ia bangkit sembari menyisir ujung rambut bergelombangnya dengan jemari tangan. Memasukkan ponsel ke tas, lalu merogoh lebih dalam isi tasnya. Luna menatap benda persegi yang baru ia dapat dari dalam tas. Embusan napas perlahan terdengar diiringi getar gumaman.

"Maaf ... aku tidak bisa datang," gumamnya.

Undangan berpita perak itu ia letakkan di atas meja Aaditya. Kemudian ia berbalik, menyeka ujung mata yang mungkin akan tumpah ruah dengan air mata saat keluar dari ruangan ini. Dan Lianti atau siapa pun itu, tidak boleh mengetahui kerapuhannya.

~o0o~

Aaditya masih duduk di atas kap mobilnya bersisian dengan wanita yang tengah meneguk minuman kalengnya. Mereka berdua masih asyik menatap bangunan sekolah semasa SMA, meski semua peserta reuni sudah berlalu pulang. Bertemu dengan sahabat lama semasa SMA memang tidak buruk, menyenangkan saat saling bernostalgia kisah kegilaan masa remaja mereka. Sesekali beberapa teman juga mengejek saat Maya akhirnya berjodoh dengan Aaditya. Benarkah mereka berjodoh? Akankah ada penyesalan nantinya dalam benak Aaditya?

"Aku pikir mereka sudah lupa dengan kita yang selalu ke mana-mana bareng," celetuk Maya. Ia menyandarkan kepala di lengan Aaditya.

Aaditya hanya mendesah, menunduk untuk menatap Maya sejenak. Namun, laki-laki dengan manik mata kecokelatan itu segera berpaling dan meraih minuman ringannya.

Maya menegakkan tubuh, turun dari kap mobil dan mencengkeram kedua lengan Aaditya. Saat kedua matanya bertemu dengan mata Aaditya, ia menghela napas sebelum menyampaikan sesuatu yang kelihatannya serius.

"Untuk kali ini saja, Ditya. Aku mohon ... beri aku kesempatan menjadi bagian dari hidupmu," lirihnya.

Aaditya hanya bergeming, berusaha mencari getaran rasa di dada saat menatap dalam ke bola mata yang dulu sempat menjadi sahabat terbaiknya. Namun, beberapa detik ia mencari, semua terasa biasa, meski ada godaan untuk menerima wanita secantik Maya.

Lama menunggu reaksi Aaditya, mata Maya mulai berkaca-kaca. Ia sadar, akan teramat sulit menumbuhkan cinta bila mereka menjalin hubungan yang lebih serius. Cengkeraman di kedua lengan kekar Aaditya melemah, luruh bersama air mata yang mungkin sudah tak sanggup ia tahan.

Bersamaan dengan Maya yang menyandarkan kepala di bahunya, Aaditya memeluk wanita yang terisak. Namun, kata maaf tak sanggup ia ucap, dan kepastian tak sanggup ia utarakan. Semua terasa gamang untuk dipikirkan saat ini.

~o0o~

Repost: 03-10-2018

Luna (Repost)Where stories live. Discover now