-Tujuh Belas-

6.1K 846 27
                                    

Cinta mengembuskan napas kasar. Sudah setengah jam ia menunggu laki-laki itu di food court. Bahkan ia telah menghabiskan dua gelas jus jeruk. Sesekali ia memanjangkan leher, menilik pintu masuk, siapa tahu yang ditunggu sudah datang. Cinta kembali menyandarkan punggung ke kursi, memainkan buku jari bercat kuku merah di atas meja.

Roy—orang kepercayaan keluarga Hardian—pagi tadi menghubungi ponsel Cinta. Ia pikir karena laki-laki berparas sangar itu merindukannya. Tetapi, Cinta seharusnya tak usah berharap semuluk itu. Ia tahu Roy hanya butuh informasi tentang putri tunggal Hardian.

Cinta menggigit bibir. Ternyata mencintai dalam diam itu menyesakkan. Ia bangkit, mendorong kursi ke belakang, hendak beranjak. Namun, aksinya terhenti saat dari arah pintu masuk terlihat sosok berjas hitam dengan rambut tersisir rapi.

"Sorry, aku tadi habis nganterin Tuan Hardian check up kesehatan," ucapnya seraya menarik kursi.

Cinta mendesah lelah sembari mendudukkan kembali pantatnya ke kursi. "Aku hampir saja pulang," keluh Cinta.

Roy tersenyum simpul. "Tunggu sebentar di sini," pintanya. Ia bangkit memesan minuman dan kembali membawa dua gelas Cola.

"Apa Tuan Hardian sedang sakit parah?" tanya Cinta. Ia meraih Cola dari uluran tangan Roy, menyelipkan sedotan ke sela bibir.

"Mm, bisa dibilang begitu. Bisakah kamu membujuk Luna untuk pulang? Tuan Hardian butuh putrinya," terang Roy. Ia sama menyelipkan sedotan.

Cinta menghela napas. "Ya ampun, Roy ... bukan perkara mudah membujuk Luna. Apalagi Luna masih bersitegang dengan papanya. Luna terkadang juga punya watak keras jika sedang bersitegang dengan seseorang."

"Bagaimana dengan Aaditya?"

Cinta menggebrak meja pelan. "Astaga, jangan tanyakan itu. Aku tahu mereka masih saling mencintai. Tapi, Ditya sudah hampir bertunangan dengan Maya."

Kedua alis Roy terangkat. "Maya? Sahabat Aaditya?"

Cinta mengangguk sembari kembali menyeruput Cola. "Aku sungguh penasaran apa yang terjadi antara Nyonya Tiara dan Tuan Hardian puluhan tahun lalu. Aku pikir Tuan Hardian menyembunyikan sesuatu."

Roy menggerakkan rahang bawahnya ke kiri dan kanan. Perlahan ia mengembuskan napas. "Itu urusan keluarga Hardian, kita tak perlu tahu." Roy mengakhiri cerita.

Cinta mengedikkan kedua bahu, tak acuh.

"Ayo, kita jalan!" ajak Roy. Ia menepuk jas yang sempat kusut seraya berdiri.

Cinta mengerjap, menatap Roy yang tengah menjulang di depannya. "Maksudnya?" Ia bertanya dengan sedotan masih terselip di gigi.

Roy tersenyum tipis kemudian berkacak pinggang. "Kamu pikir hubungan kita ini akan terus dibiarkan seperti ini tanpa perkembangan?"

Mata Cinta masih mengerjap ragu, sedotan terlepas dari gigitannya. Sementara Roy sudah berlalu mendahului berjalan dengan santai.

"Apa dia sedang mengajakku kencan?" gumam Cinta masih tak percaya. Ia buru-buru menggeleng kepala kuat-kuat. Bangkit dari kursi dan berlari kecil menyusul Roy. Ia tersenyum simpul. Cinta ... sedikit lega dan ... bahagia.

~o0o~

Aaditya masih berkutat dengan setir mobilnya. Kendaraan padat merayap di Jakarta seringkali membuat laki-laki dengan hidung mancung itu penat. Jam pulang kantor lebih memakan waktu lama. Ia menginjak rem mendadak saat sepeda motor menyalip asal mobil Aaditya.

"Ya ampun, hati-hati, Sayang! Kamu nggak lihat jalanan rame gini?" protes Maya yang sedari tadi duduk di samping kemudi. Maya membungkuk memunguti kertas yang tercecer di karpet mobil karena terlepas dari genggaman.

Luna (Repost)Where stories live. Discover now