-Sembilan-

12.5K 1.4K 53
                                    

Erangan putus asa Luna lontarkan di depan cermin kamar mandi. Semalam ia sama sekali tak sanggup memejamkan mata. Semua yang terjadi membuat Luna hampir gila. Aaditya sungguh kurang ajar. Bisakah ini dianggap sebagai pelecehan seksual? Luna menatap cerminan dirinya di cermin. Ah, tidak! Bagaimana itu bisa disebut sebagai pelecehan jika Luna saja mengakui bahwa ia menikmatinya?

"Aaah ... aku bisa gila!" keluh Luna sambil menepuk-nepuk kedua pipi. Gerakan kasar meraih sikat gigi di depan cermin ia lakukan sebagai pelampiasan kekesalan. Kesibukan adalah cara terbaik yang Luna pilih untuk melupakan semua.

Semula Luna menggosok giginya dengan santai. Beberapa detik berlalu, memandang bibirnya sendiri di cermin membuat bulu kuduknya meremang.

"Oh, shit!" Luna melempar sikat gigi ke sembarang arah, kemudian berkumur dan membasuh wajah sama kasarnya.

"Luunnaaa ...! Lo ngapain di dalem? Lama amat! Gue telat!" pekik Cinta sembari menggedor-gedor pintu tanpa ampun.

"Iya!" sahut Luna setengah berteriak.

Aaditya membuat Luna labil dengan caranya yang romantis.

~o0o~

Cinta mengamati sahabatnya yang sedari tadi tampak uring-uringan. Luna terlihat seperti tak sudi melihat cermin saat rona di kedua pipinya muncul. Cinta terkikik geli dengan segala tingkah Luna pagi ini. Hal itu membuat Cinta gemas ingin menggoda Luna.

"Bibir lo kenapa, Lun?" sindir Cinta berpura-pura sok tenang sembari menikmati sarapan.

"Hah? Kenapa?" Luna balik bertanya. Ia kontan merogoh cermin saku dari dalam slingbag di kursi karena panik.

Cinta tertawa terbahak-bahak menyaksikan kepanikan Luna. Terang saja mata Luna langsung memicing, menatap penuh kecurigaan.

"Lo semalem ngintipin gue sama Aaditya?" tuding Luna tak terima.

Tawa Cinta semakin meledak hingga ia memegangi perutnya yang kaku. Saking fokusnya tertawa, hampir saja makanan yang dikunyah salah masuk ke saluran pernapasan. Tawa Cinta mereda seketika ia meraih segelas air putih.

"Ih, nggak banget lo ngintip-ngintip!" kata Luna kesal.

Cinta hanya meringis, menunjukkan cengiran seolah merasa dirinya tak berdosa. "Nggak sengaja kali, Lun. Gue kebangun pas elo keluar kamar. Terus penasaran, tengokin lewat jendela. Mana gue tahu kalau kalian bakal begitu!"

"Gi-gitu gimana? Bukan gue yang mulai, Aaditya yang tiba-tiba ...." Luna terbata menjelaskan di depan Cinta. Belum lagi kedikan kedua alis Cinta yang naik turun membuatnya kehabisan kata untuk menyangkal. "Serah lo, deh!"

Lagi-lagi wanita dengan rambut sebahu di depan Luna kembali terbahak. Kali ini tawanya semakin kencang diiringi gelengan kepala tak habis pikir. Setelah tawanya reda, Cinta menepuk bahu Luna. "Tenang, gue selalu dukung elo. Bahkan kalau kalian berdua sepakat buat rujuk, gue dukung."

Luna tertunduk, memainkan tali selempang tas di pangkuannya. "Nggak semudah itu, 'kan, Cin. Sudah ada Maya dan lo tahu sendiri, alasan lain kenapa dulu gue milih mundur dan minta Aaditya ceraiin gue."

Cinta menghela napas prihatin. "Sabar, ada saatnya Aaditya tahu semuanya. Lo bisa aja jujur sama dia kalo lo mau. Tapi, ya ... terserah juga, sih. Gue cuma bisa dukung tanpa harus mencampuri urusan kalian berdua."

Luna menoleh, menatap sahabatnya. "Makasih, Cin," ucap Luna tulus.

Keduanya berpelukan. "Aah, elo bikin gue jadi nelangsa, tahu nggak, sih?" ujar Cinta seraya melepas pelukan.

Luna (Repost)Where stories live. Discover now