-Enam-

12.9K 1.4K 26
                                    

Smartphone di tangan Luna masih menampilkan beranda layanan online shop. Tidak, Luna sedang tidak berbelanja. Ia hanya menatap kosong hamparan layar smartphone-nya. Luna pikir, melihat jajaran produk fashion di online shop bisa mengalihkan pikirannya yang sedang kacau.

Ia masih bisa merasakan betapa gemetar tangannya saat mengukur lebar bahu, lingkar dada, dan panjang lengan Aaditya. Bahkan sesungguhnya tanpa Luna mengukurnya, ia masih bisa mengingat semua ukuran pakaian Aaditya. Oh, shit! Bagaimana mungkin Luna bisa melupakan setiap jengkal tubuh laki-laki yang dulu hampir setiap malam selalu bersamanya.

Luna melempar smartphone ke meja. Lagipula kenapa harus ada Maya tadi? Kenapa juga Maya memilih butik di mana mantan istri Aaditya bekerja di sini? Salah Maya bila Luna kembali kacau. Oh, tidak! Salah Luna sendiri kenapa ia tak bisa menekan perasaanya.

Helaan napas kasar Luna embuskan. Ia menggigit bibir, merasa sebal dengan keadaan yang mempermainkannya. Dentingan ponsel di meja menarik perhatian Luna. Keningnya berkerut saat menemukan notifikasi chat dari Aaditya.

Aaditya: "Sudah pulang? Aku jemput, ya?"

Luna memikirkan balasannya selama beberapa detik. Kemudian mengetik kata, "Maaf, aku sibuk."

Namun detik berikutnya, ia menghapusnya sebelum chat itu dikirim. Ia kembali mengetik, "Ya ...."

Luna meghentikan ketikan di papan ketik ponsel. Ibu jarinya masih di udara dan belum mengetikkan apa-apa lagi. Hingga suara Bu Dewi menngejutkannya, "Luunnaaa ...!"

"Oh, shit! Terkirim!" umpat Luna. Saking terkejutnya tanpa sengaja ia menekan tombol sent.

Oh, Tuhan! Luna menyesali perbuatan ceroboh yang tak sengaja ia lakukan. Erangan putus asa ia tunjukkan sembari menyembunyikan wajah di atas meja pada lipatan kedua tangan. Diperhatikannya kembali layar chat. Luna semakin panik saat layar menunjukkan sebuah kata mengetik. Jantung Luna berdebar, apa yang sedang diketik Aaditya?

Aaditya: "Aku jemput sekarang."

"Luunnaaaa ...!" pekik Bu Dewi dari ruang kerjanya.

Luna terkesiap dan segera berlari kecil menuju ruang Bu Dewi meninggalkan ponsel di meja. Luna tidak berniat membalasnya. Biarlah Aaditya menyerah dengan sendirinya. Namun, apa yang diinginkan Tuhan berlainan dengan keinginan Luna. Aaditya kembali mengetik. Ponsel Luna bergetar menyampaikan pesan dari Aaditya beberapa menit kemudian.

Aaditya: "Aku sudah di depan butik. Aku tunggu."

~o0o~

Pada kenyataannya, mendekati Luna kembali bukan perkara mudah. Ia butuh tahu segala sesuatu yang terjadi selama satu tahun ini untuk mengambil keputusan. Aaditya memilih pergi ke London melanjutkan study-nya setelah bercerai dengan Luna. Bukan karena ia tak mencintai Luna lagi. Ia sudah cukup tersiksa menekan dirinya agar tak menemui Luna karena Luna-lah yang menginginkan perceraian ini. Hingga pergi ke London menjadi pilihan agar ia bisa lebih menekan hasratnya.

Aaditya menyugar rambutnya, duduk di atas kap mobil, menunggu Luna muncul dari balik pintu kaca butik. Tadi di butik, ia hampir tak bisa berkutik, mengingat Tiara dan Maya terlalu sibuk menjabarkan rencana pertunangan. Sesekali bahkan Tiara dan Maya melirik sinis ke arah Luna. Tentu saja hal itu membuat situasi semakin tak nyaman. Ia baru memiliki kesempatan bicara pada Luna saat Maya dan Tiara sibuk berkeliling butik dengan Bu Dewi.

"Jika masa lalu memintamu kembali, maukah kamu melakukannya?" Kata-kata itu meluncur begitu saja saat jemari Luna menempelkan alat ukur di punggungnya.

Luna (Repost)Where stories live. Discover now