-Tujuh-

12.7K 1.5K 30
                                    

Maya tahu bahwa saat ini ia berada dalam posisi yang sulit. Ia merasa berhak atas Aaditya karena selama satu tahun ini, Maya-lah yang setia mendampingi Aaditya saat Luna memilih perceraian. Di sisi lain, ia merasa salah karena sesungguhnya Maya cukup mengetahui bahwa Aaditya masih belum bisa melupakan Luna. Namun, salahkah bila ia meminta sedikit ruang di hati Aaditya sekarang? Toh, Aaditya bukan lagi suami Luna.

Kali ini Maya tidak akan menyerah. Atas bantuan Tiara yang telah hilang simpati terhadap Luna, Maya tidak akan menyerah seperti dulu. Maya puas saat melihat raut Barbie Luna yang pucat pasi. Puas saat melihat mata Luna yang menyimpan kengerian saat menggores pensil rancangan gaun pertunangan Maya dan Aaditya. Namun, semua yang ia lihat mulanya tak seindah pada akhirnya.

"Bagaimana kabarmu?" sapa Maya saat Luna mulai mengukur lingkar dadanya.

"Baik," sahut Luna pendek. Ia masih sok sibuk mencatat di sebuah buku catatan.

Maya menghela napas, menatap sekitar yang cukup sepi. Aaditya dan Tiara sibuk berbincang dengan Bu Dewi. "Aku pikir kita tak perlu basa-basi. Setidaknya aku hanya ingin menyadarkan posisimu sekarang dalam kehidupan Aaditya."

Luna masih terdiam dan berpura-pura fokus dengan aktivitasnya.

"Aku pikir ini juga menjadi ajang ujian perasaanmu terhadap Aaditya. Jika kamu tak kuat merancang gaun pertunangan kami, aku akan coba mencari perancang lain yang lebih profesional," imbuh Maya, " dan tanpa membawa perasaan masa lalu dengan calon suamiku." Maya menekankan pada kata calon suami.

Tangan Luna yang semula bergerak menuliskan sesuatu berhenti di udara. Ia kemudian tersenyum sarat percaya diri. Tidak ada lagi wajah pucat pasi di wajah Barbie milik Luna. Mungkin Maya telah mengatakan suatu hal yang justru membangkitkan keberanian Luna.

"Apa kamu takut? Kalau kamu cukup percaya diri bahwa Aaditya mencintaimu, seharusnya kamu tak perlu repot-repot berkoar-koar di depanku, bahwa kalian akan segera bertunangan." Sebelah ujung bibir Luna terangkat, membuat Maya justru terpojok dan tak sanggup membalas perkataan Luna. "Aku rasa, ini bisa jadi ajang ujian untuk meyakinkan dirimu bahwa Aaditya memang mencintaimu. Bukan sekadar kasihan karena kamu yang terus mengekor padanya."

Maya berdeham, matanya mengerjap nanar.

"Selamat atas pertunangan yang akan datang. Semoga cinta Aaditya memang nyata untukmu," bisik Luna di telinga Maya, sebelum akhirnya ia berlalu menghampiri Aaditya dan Bu Dewi.

~o0o~

Maya mengusap wajahnya, sadar akan lamunan tentang pertemuannya dengan Luna di butik tadi. Sudah satu jam ia menunggu Aaditya di rumah Tiara. Tadi setelah dari butik, Aaditya pergi begitu saja. Tiara sempat menggertak, namun Aaditya bersikap tak acuh. Selalu saja begini. Setiap kali mendapatkan pengabaian dari Aaditya, entah kenapa ia selalu bisa bersabar menunggu. Maya tertawa hambar. Cinta memang sudah menutup akal sehatnya. Harusnya ia tak terlalu berharap dengan Aaditya. Kenapa ia begitu bodoh dan lemah?

"Maya," panggil Tiara seraya mengusap bahu Maya dengan lembut.

Maya menoleh dan tersenyum. Ia sedikit menggeser posisi duduknya, memberi ruang untuk Tiara duduk.

Tiara mendesah ringan ketika ia berhasil mendaratkan pantat ke kursi di sisi Maya. "Aaditya suka duduk di balkon ini kalau sedang banyak pikiran," celetuk Tiara.

Maya tersenyum hambar. Ya, duduk di balkon sambil memikirkan mantan istrinya. Mungkin tak pernah terlintas ada nama Maya saat Aaditya berdiam diri di sini.

Tiara menggenggam tangan Maya di pangkuan. "Sabar, Mama percaya Aaditya akan kembali padamu. Dia memang sedikit keras kepala. Maafkan Ditya, ya?"

Maya mengembuskan napas perlahan, kemudian tersenyum dan mengangguk. "Maya sudah lama mengenal Aaditya, jauh sebelum ada Luna dalam kehidupannya. Maya nggak apa-apa, kok, Ma."

Luna (Repost)Where stories live. Discover now