-Dua Puluh Tiga-

6.5K 916 101
                                    

Telunjuk bercat kuku merah itu menyentuh kaca jendela mobil. Embusan napas Luna yang menerpa jendela membuat kaca berembun. Kemudian, sentuhan jari Luna di kaca menuliskan sebuah nama. Ia masih sibuk menyandarkan kepala di sisi pintu mobil dengan sebelah tangan menggenggam erat ponsel. Layar ponsel bahkan masih membuka layanan WhatsApp.

Haruskah aku menunggumu? Bisakah kita bersama lagi?

"Nona ingin minum sesuatu? Kita bisa berhenti di kafe untuk minum kopi jika mau?" Suara Roy membuyarkan kejengahan dalam lamunan panjangnya.

Luna menoleh sebentar, lalu kembali lagi menyadarkan kepala ke pintu mobil. "Di sini tidak ada siapa pun, Roy. Berhenti memanggilku dengan sebutan Nona," keluh Luna diiringi embusan napas perlahan.

Roy tersenyum simpul. Luna-nya masih sama seperti yang dulu. Tak pernah mau ada pembatas antara asisten dan tuannya. Apalagi mereka sempat menjalin persahabatan semasa masih mendiami panti asuhan, meski berbeda tempat.

Roy menghentikan mobil di depan sebuah kafe, meminta Luna untuk menunggunya beberapa menit. Hingga ia kembali dengan dua paper cup kopi hangat. Laki-laki berjas hitam itu sedikit berlari saat gerimis kembali mengguyur.

Ia menyodorkan segelas kopi pada Luna sebelum akhirnya ia kembali menutup pintu. "Kamu masih malas kembali ke rumah atau ... masih memikirkan mantan suamimu?" terka Roy sembari mengacak rambutnya yang sedikit basah terkena gerimis.

Luna hanya mengedikkan bahu, berpura-pura sibuk meniup uap hangat kopi yang mengepul.

Roy tersenyum, menghadapkan tubuh pada Luna yang tertunduk menatap kosong pada cangkir di pangkuan. "Berhenti memikirkannya. Tidakkah kamu bisa membuka hatimu untuk laki-laki lain?"

Mata bulat Luna mengerjap, kemudian menoleh demi menatap tajam sahabat masa kecilnya. "Asal laki-laki itu bukan kamu," ucapnya sinis.

Roy menahan tawa kecilnya. Sedetik kemudian, tawa kecil Roy lepas seraya mengacak puncak kepala Luna. Wanita yang terusik itu mendesis jengkel dan menampik tangan Roy, galak. Namun, ia mendadak gugup saat Roy sedikit mendekatkan wajah padanya, membuat Luna semakin memojokkan diri ke pintu mobil.

"Menurutmu begitu?" Roy mengedikkan kedua alis.

Luna menelan ludah susah payah dan memalingkan wajah dari Roy. Sungguh ia benci bila terjepit situasi seperti ini. Bukan perkara mudah terjebak dalam perkara cinta dalam persahabatan.

"Sayangnya, aku sudah mulai membuka hatiku untuk Cinta," celetuk Roy. Ia kembali menegakkan tubuh, menyesap kopi yang mungkin sebentar lagi mendingin karena AC mobil.

Luna mendecakkan lidah, kemudian menghela dan mengembuskan napas lega. "Semoga kamu bisa membuktikan kata-katamu."

Roy tertawa hambar. "Itu pun bila relung hatiku tak kembali terusik dengan kehadiranmu."

"Roooyy ...," desis Luna dengan gigi bergeretak karena kesal.

"Lama tak ngobrol sedekat ini, apa kabarmu dalam setahun ini?" Roy mengalihkan pembicaraan.

"Nggak usah tanya. Aku tahu Cinta sudah menceritakan semua hidupku."

Roy terkikik geli. "Baiklah, kita pulang sekarang. Tuan pasti sudah menunggu di rumah," ucap Roy seraya menurunkan kaca jendela mobil. Ia sempat melempar paper cup kosong ke tong sampah sebelum ia menyalakan mesin mobil dan berlalu membawa Luna pulang.

~o0o~

Pria tua berambut kelabu di ruang tamu itu tampak sibuk. Namun, binar ceria di wajahnya yang setahun ini pudar mulai terlihat. Berkali-kali ia bertanya pada beberapa pelayan berseragam hitam putih, memintanya untuk menata kembali kamar Luna, meminta menyiapkan segelas susu hangat sebelum Luna pergi tidur nanti.

Luna (Repost)Where stories live. Discover now