-Dua Puluh Enam-

6.8K 889 186
                                    

Honda Brio berwarna merah itu melaju dengan kecepatan tinggi. Berulang kali klakson terdengar saat sang pengemudi tak sabaran dengan pengendara lain yang berjalan lambat. Tak jarang pengendara lain merapalkan umpatan karena kesal. Sementara pengemudi mobil merah itu semakin tak peduli dengan sekitar ketika emosi yang memuncak.

Maya memukul sebelah tangannya ke dada, berharap segala perih yang menyayat jantunya luruh entah ke mana. Beginikah rasanya mencintai tanpa dicintai. Apa kekurangannya selama ini? Bukankah semua hamper sempurna? Wajahnya tak kalah cantik, kesetiaan jangan ditanya. Apakah kurang cukup setia bila ia sanggup bersabar hingga bertahun-tahun lamanya? Selama itu ia memberi perhatian tanpa timbal balik.

Aaditya perhatian, baik, lembut, tapi bukan cinta. Laki-laki itu tak mencintainya. Bahkan ia tega bermesraan dengan wanita lain di atas hubungan mereka. Maya tak bisa menerimanya. Pikirannya mendadak berantakan, hatinya lebur tak berbekas. Saat melihat wanita dengan rambut berantakan dan sweater tipis yang turun dari bahunya, mendadak hatinya mendidih.

Benarkah semalam bibir Aaditya mengerayang di setiap lekuk leher dan bahu mantan istrinya? Benarkah tangan kokoh Aaditya yang membuat pakaian dan rambut wanita itu berantakan?

Tidak. Maya menggelengkan kepala kuat-kuat. Matanya mengabur karena desakan air mata yang terus membeludak tak terkendali. Sungguh ia tak habis pikir. Begitu sulit meluluhkan hati Aaditya.

Satu belokan lagi, ia sampai di sebuah pelataran rumah calon mertuanya. Bagaimanapun, Nyonya Tiara harus bisa mempertanggungjawabkan semua ini. Segala luka yang ia dapat harus terbalas dengan cara apa pun. Luna harus enyah, dan Nyonya Tiara harus melakukan apa pun untuk menahan putra sulung keluarga Wijaya untuk Maya.

Rem mobil merah Maya berdecit kasar saat sampai di halaman sebuah rumah. Dengan tergesa ia menghapus jejak air mata di pipi, yang sialnya malah semakin membanjir tak terkendali. Begitu turun dari mobil, ia menghambur dalam pelukan wanita bersanggul kecil di tengkuknya.

"Kamu kenapa, Sayang? Sudah bertemu Aaditya, bukan?" Tiara yang terkejut menerima hamburan dari Maya di depan pintu, mengusap pelan punggung calon menantunya. Ia merenggangkan pelukan, menatap wajah kacau Maya. Kemudian menghapus pipi sembab wanita di hadapannya.

Maya hanya tertunduk dan kembali terisak. Tiara hanya menggelengkan kepala seraya menuntun Maya masuk ke dalam dan mendudukkannya di sofa ruang tamu.

"Lho, kamu kenapa, Mbak?" Bintang yang sedari tadi duduk menikmati kopinya mendadak tertegun.

Maya menggeleng pelan di samping Tiara. "Aku hanya lelah," isaknya pelan.

Tiara meraih juntaian rambut Maya yang lolos dari ikatan dan menyelipkannya ke belakang telinga. "Apa terjadi sesuatu? Kamu sudah bertemu dengan Aaditya di rumahnya, bukan?"

Maya mengangguk pelan, kemudian mendongak dan menatap iba. "Bersama Luna," gumamnya.

Bintang mengerjap, saling bertatapan dengan sang Mama.

"Kamu yakin, kan, semalam abangmu bilang mau pulang ke rumahnya sendirian?" Tiara menatap Bintang penuh selidik.

Sementara putra bungsunya itu hanya mengedikkan bahu tak tahu. "Mana aku tahu, Ma. Aku bahkan belum bertemu dengannya sejak pulang kerja kemarin," ucap Bintang.

"Aku bertemu Luna saat Aaditya masih tertidur di kamarnya. Luna keluar dari arah tangga. Wanita itu ... dia ...." Maya mengembuskan napas kasar, menelungkupkan wajah di balik kedua telapak tangan. Sungguh ia tak sanggup mengatakannya, terlalu menyesakkan untuk diingat.

Denting ponsel Maya dari dalam tas di sofa terdengar. Semua terdiam, menanti Maya melanjutkan cerita nanti setelah mengangkat panggilan tersebut. Kening Maya mengernyit, menyipitkan mata saat membaca pemanggil.

Luna (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang