-Tiga Puluh-

7.7K 992 72
                                    

"Om mohon, Nak. Izinkan Aaditya untuk pulang sebentar saja, agar dia bisa menguatkan putri Om satu-satunya."

Luna tersenyum kaku terngiang pembicaraan dengan Panji—ayah Maya—kemarin sore. Kemarin, hatinya baru saja bersorak gembira menemui kenyataan bahwa Aaditya memilihnya. Ya, setelah makan siang itu, mereka hampir mengucap kata rujuk dan akan berusaha memulai menata masa lalu. Namun, dering ponsel Aaditya menginterupsi kebahagiaan mereka. Bahkan memotong harapan yang hampir muncul ke permukaan.

Luna duduk di sebuah kafe tepian pantai Sanur. Kopi yang ia pesan sudah mendingin dengan sendirinya. Luna bahkan tak berminat untuk menyesapnya barang sekali seruput saja. Kedua tangan Luna terkepal di atas pangkuan. Sesekali ia meremas rok tutu berbahan sutra halus berwarna biru. Kedua manik matanya sudah habis mengeluarkan air mata sejak sepagian ini.

"Percayalah, aku pasti kembali. Kita akan perbaiki semua dari awal."

Hanya itu kalimat terakhir Aaditya sebelum laki-laki berbahu lebar itu berlalu, memasuki boarding pass, meninggalkan Luna sendiri di Bandara Ngurah Rai, Bali. Ya, Aaditya harus menyelesaikan masalahnya. Bagaimanapun Maya adalah sahabatnya, bukan? Memilih Luna bukan berarti ia harus mengabaikan sahabatnya.

Ya Tuhan, apa aku terlalu baik?

Lagi. Air mata yang ia kira sudah mengering, menetes. Sampai kapan Luna Sasmita hidup terombang-ambing begini?

Getar ponsel Luna di meja menghentikan isak tangis. Kedua telapak tangan berjemari lentik itu menghapus pipinya yang basah. Ia berdeham, menetralkan suara parau demi mengangkat telepon dari sang Papa.

"Ya, Pa?"

"Pulang, Luna. Papa akan membereskan semuanya," sahut Hardian tegas.

Luna terdiam selama beberapa detik, kemudian mengembuskan napas panjang. "Tidak, Pa. Aku—"

"Menunggu Aaditya?" potong Hardian.

Lagi-lagi Luna hanya mengembuskan napas panjang. "Please, Pa. Biarkan aku dan Aaditya menyelesaikan semuanya sendiri."

Luna memilih mengakhiri panggilan, meremas ponsel di atas pangkuan. Tidak. Aaditya sudah berjanji akan kembali menjemputnya. Ia pasti kembali, melanjutkan nostalgia mereka yang baru saja akan dimulai. Iya, kan?

Embusan angin pantai menyibak lamunan Luna. Ia bangkit seraya mendorong kursi ke belakang, merangsekkan ponsel ke dalam tas selempangnya. Kemudian kopi yang dingin di meja ia abaikan tanpa meminumnya sedikit pun. Yang bisa dilakukan adalah menunggu hingga esok dan berdoa.

Semoga Aaditya segera kembali.

Dan Luna ... tidak akan kembali pulang ke Jakarta sebelum Aaditya menjemputnya, meski Hardian memohon sekalipun.

~o0o~

Hardian memijit pangkal hidung, tangan kanannya masih meremas ponsel di atas meja. Benar. Putrinya menuruni watak Sasmita yang keras kepala, merasa kuat sendirian, dan terlalu yakin bisa tegar tanpa pegangan.

Laki-laki bersurai hampir kelabu itu menghela napas dengan mata terpejam. Sejam yang lalu ia dikejutkan dengan kehadiran Aaditya di ruang kerjanya. Laki-laki itu tampak menunggu seraya duduk di sebuah sofa. Hardian tahu, kedatangannya kemari tidak mungkin tanpa tujuan. Aaditya kembali meminta restu padanya untuk kembali rujuk dengan Luna, usai ia menyelesaikan masalah dengan Maya dan mamanya. Laki-laki itu selalu gentle memohon restu orang tua.

Ia bahkan masih ingat dengan jelas, bagaimana Aaditya berlutut di hadapannya beberapa tahun silam. Saat ia menyatakan bahwa ada kehidupan dalam rahim putrinya, Hardian sempat melayangkan tinju beberapa kali di wajah Aaditya.

Luna (Repost)Where stories live. Discover now