-Dua Puluh Dua-

7.1K 897 87
                                    

Kalau baca Luna itu sambil dengerin lagunya Rossa yang judulnya Perawan Cinta.
Huhuhu .... Authornya jadi berasa jadi raja tega udah bikin Luna dan ibunya ada di antara dua orang yang seharusnya bersatu.
Yang katanya baca Luna ada yang sampai nangis-nangis, maafkan, ya. T_T
Yuk, baca kelanjutan kisah Luna sambil dengerin lagu ini. :"D

***

Luna memilih turun di jalan depan kompleks rumahnya. Sedikit ingin mendinginkan kepala dan hati dengan berjalan kaki sekitar 100 meter ke rumah. Ia berjalan lambat, mengayun tas di tangan kanan seraya bersenandung lirih—menghibur diri sendiri. Sesekali ia juga melompati jalan yang berlubang, tersenyum saat berhasil melompat meski mengenakan high heels bersol merah.

Ke mana ia harus pergi esok pagi? Kembali kepada sang papa? Atau bertahan di rumah shaby chic-nya yang mungkin akan sedikit repot bila terkadang Aaditya datang menyambanginya? Bila ia kembali ke rumah keluarga Hardian, ada Roy di sana. Laki-laki berparas sangar berhati lembut itu selalu bisa melakukan apa pun, termasuk menyingkirkan mantan suami Luna bila memang terlalu mengganggu. Saking setianya laki-laki itu terhadap keluarga Hardian, Luna sampai tak bisa membedakan perhatian Roy padanya yang kerap berbeda. Itu dulu, sebelum ada Aaditya. Entahlah. Masa lalu! Dan Luna tak ingin mengungkitnya di depan Cinta.

Luna mendesah pasrah, berhenti seraya mendongak, menatap langit yang malam ini tampak cerah. Ia kembali melangkah, sedikit ingin bergegas mengingat perutnya mulai kelaparan. Semangkuk mi rebus dengan telur sepertinya lezat untuk disantam di malam yang dingin.

Namun, langkahnya melambat saat menemukan sebuah mobil hitam metalik di depan pagar rumahnya. Pintu ruang tamu rumah Luna juga terbuka lebar dengan lampu yang menyala. Luna hafal itu mobil siapa. Ia berjalan mundur sembari menatap mobil.

Apa Roy sedang berkencan dengan Cinta di rumahnya?

Luna mendecak seraya berkacak pinggang. Ia berbalik tepat di undakan teras rumah, tetapi langkahnya terhenti saat sosok bersanggul dan berkacamata plus itu terlihat menyambut di depan pintu. Bibir Luna sedikit membuka, tak percaya dengan kehadiran seseorang yang hampir setahun tak pernah ia temui.

"Nyo-nyonya Maryam?" gumamnya lirih.

Wanita itu tersenyum sembari merentangkan kedua tangan, menanti hamburan pelukan dari wanita yang masa kecilnya selalu bermanja ria dalam dekapan dan pangkuannya.

~o0o~

Wanita berpakaian rumah sakit itu tampak lemah. Terbaring dengan keringat bersimbah di pelipis dan sekujur tubuh. Ia tak sadarkan diri, pendarahan hebat usai melahirkan makhluk mungil yang ia kandung selama 9 bulan, membuatnya tak berdaya.

Maryam menggenggam jemari Sasmita sembari terus menggerung frustrasi. Setelah ia kehilangan ayah dan ibunya, sungguh Maryam tak ingin kehilangan Sasmita. Hanya Sasmita yang ia miliki sekarang. Bagaimana bisa Sasmita akan meninggalkan putri kecil yang baru ia lahirkan dan memberikannya pada Maryam?

"Aku mohon, bertahanlah, Mita," isaknya.

Sasmita tak menjawab, hanya helaan napas dan embusan yang mulai renggang. Kedua matanya bahkan sudah tak sanggup membuka kembali. Delapan bulan Sasmita pergi, membawa kandungannya entah ke mana. Hingga seminggu yang lalu, Maryam dikejutkan dengan sosok adiknya berdiri di depan panti asuhan tempat ia bekerja. Sungguh hal itu membuncahkan kelegaan setelah sekian lama Sasmita pergi. Namun, siapa sangka ternyata Tuhan mendatangkan Sasmita padanya hanya untuk menyisakan kenangan seminggu dan berpamitan—pergi untuk selama-lamanya.

Saat genggaman tangan Sasmita melemah dan memudar, Maryam tahu ibu dari bayi yang tengah menangis di ruang sebelah telah tiada. Tak ada yang bisa Maryam lakukan. Tubuhnya mendadak lemas, dua orang suster memapahnya, menjauh dari pembaringan Sasmita. Dalam kaburnya pandangan karena air mata, ia sempat melihat dokter berusaha memeriksa, melakukan tindakan guna mempertahankan nyawa. Namun, ternyata Tuhan lebih mencintai Sasmita.

Kemarin, bibir yang kini tampak membiru, selalu menunjukkan senyum di mata Maryam. Kemarin pula, tangan yang kini terasa dingin, selalu hangat menyambut pelukan Maryam. Dan rona wajah pucat bersimbah keringat itu, kemarin sempat berbinar, bercerita, dan mengutarakan harapan terakhirnya.

"Aku akan sangat bahagia jika anakku bisa bertemu Mas Hardian."

Meski Maryam tahu, Hardian tak pantas menyentuh putrinya. Akan tetapi, ia tak berhak mengubur harapan Sasmita bersama jasadnya yang terbujur kaku, bukan?

~o0o~

Suasana mendadak hening usai Maryam mengenang masa lalu kelahiran kelam putri cantik Sasmita. Cinta sendiri ada di samping Luna, menggamit lengan kiri sahabatnya yang membeku dengan mata memerah. Roy dan Maryam tampak duduk berdampingan di hadapan Luna. Mata Maryam sama sembapnya dengan Luna. Ia sempat meraih tisu di meja, mengeringkan lelehan bening di pipi.

Roy berdeham, ia menyodorkan kembali hak Luna. Mendorong sesuatu di atas meja—sebuah dompet bening berisi kartu kredit unlimited, beberapa ATM, dan buku tabungan Luna yang sempat ia kembalikan pada papanya sebelum memilih pergi.

"Kembalilah ke rumah, dan Nona berhak mengambil ini semua," ucap Roy. "Bukankah semua sudah terjawab? Nona Luna bilang, bersedia kembali asal Tuan Hardian bersedia mengungkap masa lalu siapa orang tua kandung Nona, bukan?"

Luna menggigit bibir. Ia menatap Maryam. Setelah ia tahu kenyataan bahwa wanita berambut hampir memutih itu adalah kakak dari ibunya, justru Luna sama sekali tak ingin pulang ke kediaman Hardian. Ia ingin kembali saja bersama Maryam. Menjauh dari segala kenangan buruk yang sempat menoreh luka untuk ibunya. Dan kenyataan bahwa Luna bukanlah anak yang dihasilkan di atas hubungan sah, membuat ia terpukul. Merasa benci dengan dirinya dan Hardian sang Papa.

"Pulanglah ke rumah, Sayang. Ibumu tak menginginkanmu berpisah dengan ayah kandungmu," ucap Maryam meyakinkan.

Luna mengembuskan napas, menghapus jejak air mata. Ia bangkit dari sofa. "Beri aku waktu berpikir."

Roy hanya mengangguk pasrah. Cinta hendak menyusul Luna yang bangkit dan pergi mengurung diri di kamar. Namun, sebelah tangan Roy meraih jemari Cinta dan memintanya duduk kembali. Luna butuh waktu untuk sendiri.

~o0o~

Pun sama dengan laki-laki yang kini juga gundah. Ia sama dihadapkan dua pilihan yang sulit. Haruskah ia kembali menjemput masa lalunya, atau mengarungi hidup baru yang sudah di depan mata? Semua sulit. Bukan perkara mudah ia melepas Maya, mengingat wanita berparas keibuan itu sempat memberi tempat nyaman untuk berkeluh kesah pasca ia bercerai dengan Luna. Hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama kembali setelah sekian lama persahabatan mereka sempat merenggang. Persahabatan itu terjalin, mengikat satu sama lain, memupuk rasa yang Aaditya bingung mengartikannya. Cinta ... atau hanya pelarian semata seketika Luna pergi darinya? Salahkah jika Aaditya memberi ruang untuk Maya saat itu?

Namun, saat semua sudah telanjur, Tuhan kembali mengusik masa lalunya. Saat kedua keluarga sudah saling bertemu, membahas jenjang yang lebih serius, kenapa Tuhan mempertemukannya kembali dengan Luna? Mengujinyakah? Atau menyadarkan Aaditya bahwa jauh dalam lubuk hatinya, masih ada nama Luna terukir di sana?

Membatalkan pertunangan bukan hanya akan menyakiti Maya, tapi keluarga besar Maya, dan juga akan mempermalukan keluarga Wijaya. Tidak bisakah waktu berjalan lambat sekarang? Agar ia bisa berpikir jalan keluar terbaik supaya tak menyakiti siapa pun untuk bisa kembali pada mantan istrinya.

Aaditya mendesah putus asa. Ia memilih berbaring di sofa kantornya, menatap jajaran kaleng susu dan buah anggur di kulkas pojok ruangan yang sengaja Aaditya buka lebar-lebar. Benda persegi berpita perak masih ada di meja, enggan untuk meraihnya.

Beberapa menit berlalu tanpa aktivitas apa pun. Pikirannya terus menerawang tak kunjung menemukan jawaban. Hingga ia akhirnya bangkit meraih sekaleng susu dan membuka penutup perlahan. Setelah meneguk hampir setengah kaleng, Aaditya mengendurkan dasi di leher seraya merogoh ponsel dari saku celana. Sedikit lama ia berpikir untuk mengetik sesuatu dan kepada siapa ia akan mengirimkankan pesan. Hingga akhirnya, ia bertekad bulat melayangkan sederat pesan untuk wanita yang mungkin akan ia gantungkan keputusan terakhir atas perkara yang pelik ini.

~o0o~

Repost: 03-10-2018

Luna (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang