18. I will

4.3K 413 19
                                    

Sang purnama kembali menjadi raja angkasa dilangit bumi. Para bintang bersinar terang seolah memuja. Awan-awan menjadi berwarna kelabu menyatu dengan gelapnya malam. Harusnya itu menjadi malam yang indah untuk dinikmati, tapi tidak bagi beberapa orang yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu.

"Untung saja Sai tidak pergi misi, jadi kami bisa tiba disini lebih cepat," ujar Ino yang tengah mengelap peluh didahinya. "Terimakasih Hera, berkat kau kami jadi tau keberadaan Sakura."

"Itu bukan masalah bagiku. Aku malah baru tau kalau Sakura-san kabur dari desa persembunyian,"

Ya, sejak Ino sampai di Laguna dan berada di kediaman Sakura. Ia memang menceritakan segalanya pada gadis berhelaian tembaga itu. "Aku yakin dia pergi begitu saja dan lost kontak dengan kami semua karena suatu alasan," ujar Ino masih menatap Sakura yang tengah terbaring lemah diatas ranjang.

Tatapan Ino beralih pada Satoshi. Bocah mungil bersurai hitam legam yang juga terbaring tak berdaga di ranjang satunya lagi. Bayi mungil lucu, putra sulung Sakura yang sekarang tengah beranjak tumbuh dewasa.

Ia ingat betul saat dirinya pertama kali melihat Satoshi membuka mata sehitam dan sebening batu onyx. Begitu murni dan tanpa dosa. Dan hatinya juga sakit ketika melihatnya semenderita ini. Ayolah, dia hanya anak-anak yang harusnya tumbuh penuh cinta.

"Hera, Apa ramuan Tsunade-sama berfungsi dengan baik?"

Hera menatap keluar jendela. Jujur saja ia berharap ada keajaiban, ia berharap Satoru pulang dan membawa penawarnya. Tapi rasanya itu mustahil sekali.

"Entahlah, tapi semoga saja bisa."

...o0o...


Satoru berpegangan erat pada ular yang sekarang menjadi kendaraannya. Rasanya ada sesuatu yang ingin meloncat keluar dari mulutnya, perutnya benar-benar seperti diacak-acak setiap kali ular tunggangannya itu meliuk-liuk gesit dan sangat cepat membelah belantara hutan.

"Hey! Bisakah kau pelan-pelan saja!" Tetiaknya yang disapu angin malam.

Kendati memelankan pergerakannya, ular itu masih saja melesat secepat kilat.

"Aku tau kau tidak tuli! Tapi kalau kepalamu mau berlumuran muntahanku baiklah, dengan senang hati kulakukan!"

Mendesis tajam, ular tunggangannya yang katanya tadi bernama Aoda itu menurut dan memelankan pergerakannya. Mendesah lega, akhirnya ia bisa duduk tenang dan menikmati desiran sejuknya angin malam.

"Nee, Tuan ular. Kenapa kau seperti sangat membenciku,"

"Aku tidak, dan aku tidak suka dengan panggilan itu. Namaku Aoda asal kau tau bocah."

Lihat itu. Bukankah nada bicara si ular bernama Aoda begitu dingin dan terdengar tak acuh. Tak suka dikatai ular katanya? Lalu ia harus memanggilnya tuan Aoda begitu? Menjijikan sekali. Entahlah rasa takutnya menguap begitu saja ketika mendapati sikap menyebalkan Aoda yang sok merajai itu. Huh, mentang-mentang tubuhnya besar dan ia kecil bisa berlaku seenaknya. Yang benar saja, ia tidak mau harga dirinya terinjak begini. Oleh binatang melata pula.

"Sikapmu itu sangat jelas, bahkan kau tampak berbeda jika bersamanya,"

"Itu jelas. Dia majikanku dan kau bukan, Aku tidak mau melayani orang yang bukan majikanku." Ujar Aoda angkuh dan jangan lupa desisan tajamnya.

Perempatan siku muncul begitu saja didahi Satoru. Rasanya ia ingin sekali mencolok mata kuning si angkuh Aoda itu. "Kalau begitu sekarang aku akan menjadi majikanmu, jadi turuti dan layani aku," ujarnya ttak kalah angkuh sambil menyilangkan kedua lengannya sedang mukanya ia panglingkan kearah lain sambil terpejam.

The Blood of UchihaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang