".... kehidupan yang tak pernah kau bayangkan...."

8.6K 448 178
                                    

Ibukota, Deanton, sebuah mansion bergaya klasik terlihat mulai beraktivitas.

Seorang pelayan perempuan, yang meskipun tidak berseragam tapi berpakaian sangat rapi, mengetuk sebuah pintu kamar yang penuh dengan ukiran indah. Sebuah nampan berisi sarapan di tangan kirinya.
"Tuan Christian....."

Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu dibuka.
Ingrid, si pelayan muda memasuki kamar itu untuk yang kesekian kali. Rutinitas paginya yang menyenangkan.

Seorang lelaki berpostur hampir sempurna berjalan malas memunggunginya. Rambut hitamnya yang sedikit ikal tampak berantakan. Meskipun ia hanya memakai celana pendek biru kusut, tubuh lelaki itu luar biasa seksi.

Ingrid terdiam sejenak menatap pemandangan indah yang hampir dilihatnya setiap pagi, tapi semakin menimbulkan kekaguman tersendiri. Rasanya ia tak pernah bosan menyaksikannya ritual pagi ini.

"Ingrid, berhentilah memandangi punggungku," kata lelaki itu dengan nada datar.

"Eh...eh... tidak kok, Tuan," jawab Ingrid sekenanya, seperti biasa bila ia tertangkap basah seperti ini.

Hmm.... pasti sangat nyaman dipeluk dan memeluk dada bidang itu, pikir Ingrid sambil menuangkan segelas susu coklat.

"Ingrid !"

"Eh, ya, Tuan. Oh, maaf.... maaf..." rupanya tanpa sengaja ia menuangkan susu itu ke atas roti, bukan gelas di sebelahnya! Aduh malunya....

Christian Bayusaga tersenyum geli.

Ingrid cepat-cepat menyambar piring roti yang basah kuyup oleh susu coklat dan membawanya kabur keluar kamar.

Christian hanya bisa menggelengkan kepala dengan geli.

Ia berjalan menuju sebuah cermin besar di situ, mematut-matut tubuh di depannya, menguji bisep dan trisep. Memang tidak terlalu menonjol seperti atlet, tapi terlihat cukup keren dan macho. Perut sixpacks, hmmm.....

Dia akhirnya tersenyum sendiri memandangi tubuhnya. Seringai nakal yang sering muncul di wajah remaja tanggung kini tergaris di wajahnya, seakan menghapus sesaat kenyataan bahwa ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang keduapuluh empat beberapa minggu yang lalu.

Sebuah pesta ulang tahun super meriah di sebuah klub yang separuh asetnya adalah miliknya sendiri. Teman-teman dari kalangan pesohor tak melewatkan kesempatan hura-hura heboh itu. Suatu kehidupan yang menjadi bagian dari dirinya seiring dengan semakin menanjaknya karir dunia hiburannya.

Ia berjalan santai menuju balkon kamarnya yang terletak di lantai dua dari empat lantai yang ada.

Tukang kebun sedang merapikan bunga-bunga tanaman ibunya. Beberapa pohon willow di pinggir sungai kecil jauh di ujung halaman belakang membungkuk seperti orang tua yang melambai-lambaikan jari-jari kurus dari balik jubah panjang.
Ia sering memancing bersama ayah dan ibunya di sana.

Dulu.

Ketika ia masih sering melewatkan waktu di rumah.

Dulu.

Ketika berbagai acara tur dan promo film belum menyita hidupnya.

Ia sadar, walaupun kadang merasa bosan dan jenuh, inilah konsekuensi dari popularitas yang diraihnya. Konsekuensi yang dipilihnya sendiri meskipun kedua orangtuanya agak berat merestui. Mereka tak memaksakan Christian untuk mengikuti jejak dunia bisnis sang ayah.

Kadang ia merindukan saat dimana ia bisa leluasa menemani ibunya tersayang berbelanja ke pelosok-pelosok pasar yang menjadi salah satu hobi antik ibunya, atau sekedar jogging atau main futsal di taman kota bersama ayahnya. Bebas, tanpa kerubutan puluhan orang yang histeris meneriakkan namanya, menarik pakaiannya, atau bahkan mencubiti dirinya.

The Star and the Vineyard (TELAH TERBIT!!!)Where stories live. Discover now