Dua  Pengakuan

3.5K 68 2
                                    

Matahari mulai bergeser ke arah utara. Terbitnya seakan kian kelihatan dari hari ke hari bergerak kian meninggalkan kutub selatan. Bulan lalu fajar itu menyingsing tepat di antara pohon sirsak dan srikaya yang tumbuh di pinggir rumah sebelah timur. Pagi itu tampak jelas muncul sebelah kiri pohon sirsak yang tumbuh sebelah utara pohon srikaya.

Kemala sehabis shubuh sudah terduduk di bangku yang terbuat dari bambu yang terletak di bawah pohon sirsak. Bangku hasil karya Yasa beberapa bulan lalu mungkin juga tahun lalu jauh sewaktu musim kemarau. Kreatifitas Yasa diluar pengetahuan Kemala. Karena waktu itu ia belum singgah di rumah itu. Kemala masih seorang pelajar SMA di sebuah kota yang cukup ramai. Kota Depok.

Kemala berada di pelosok perkampungan kota Bandung itu sejak enam bulan lalu seusai tamat SMA-nya. Bukan karena perintah ibunya saja dia tinggal disitu tetapi pula termasuk keinginannya juga. Kemala merasa betah berada dalam lingkungan keluarga pamannya itu. Sudah harmonis, juga perhatiannya yang sangat toleran terhadap pribadi anggota keluarganya.

Paman Thaabi dan Bibi Fatonah selalu sekedar mengingatkan mana yang baik dan mana yang tidak. Dia tidak pernah memaksa Kemala untuk menuruti apa yang sekiranya baik menurutnya.

Lihat saja Yasa, sukanya main hampir tiap hari. Jarang-jarang sampai seharian dia menghabiskan waktunya di rumah. Tapi Paman Thaabi tidak mempermasalahkannya selagi masih menjaga peraturan di rumah. Bukan berarti Yasa tidak pernah mendapatkan teguran dari orang tuanya, sekali-kali Kemala juga suka mendengar Paman Thaabi mendakwa putranya itu. Tapi uniknya, Paman Thaabi serasa tidak pernah kedengaran marah. Dia bicaranya suka santai, lebih menjurus sebagai orang yang sedang menasehati bukannya sikap seorang yang emosi.

Juga yang Kemala kagumi, belum pernah menyaksikan Paman Thaabi secara di depan matanya membenarkan kekeliuran anaknya itu. Kecuali sebatas mendengar samar atau kepergok, itu juga suka segera mengalihkan permasalahannya kalau kebetulan Kemala atau yang lain memergokinya.

Demikian pula terhadap Nuraini. Kemala suka dengar dari mulut Nuraini sendiri ketika ia sedang curhat. Mungkin pula dengan Bibi Fatonah. Tapi anak-anaknya baik Kemala, Nuraini maupun Yasa sepertinya mereka belum pernah mendengar Paman Thaabi marah terhadap Bibi Fatonah. Paman Thaabi sangat menghormati istrinya. Ia suka bicara hati-hati kalau seandainya ada sesuatu yang tidak disukainya atas sikap Bibi Fatonah. Begitupun Bibi Fatonah, meskipun terhadap anak-anaknya suka agak cerewet tetapi belum pernah kiranya mengomeli apalagi bicara yang kasar-kasar pada Paman Thaabi.

Sungguh mungkin Kemala merindukan keluarga yang seperti itu. Dia ingin belajar hidup yang benar. Hingga dengan kesadarannya iapun memakai kerudung dan serba tertutup dari auratnya. Yang siapa tahu sewaktu SMA-nya dulu ia tampil sedikit vulgar. Apalagi SMA-nya itu tidak memberikan tata tertib khusus batas-batas berseragam. Tak terlepas pula dari lingkungan keluarganya yang mungkin sangat jauh dari cerminan agamanya yang baik.

"Pagi-pagi banget udah nongkrong disini," Yasa ikut duduk di samping Kemala.

"Mencari hawa segar. Hampir sebulan penuh saya numpi di rumah meriangan," sahut Kemala.

"Sekarang gimana udah baikan?"

"Alhamdulillah. Meskipun masih sedikit pusing," ujarnya.

"Kakak tidak punya rencana kembali ke kota?" tanya Yasa ikut memperhatikan sorot mata Kemala ke upuk awan merah di langit timur.

"Apa Yasa mau ikut?"

"Enggak. Tapi, ya gitu deh kalo boleh. Soalnya Yasa lihatin Kak Kemala merasa betah banget ada disini."

"Tentu saja. Saya sedang belajar memperbaiki diri. Saya ingin belajar dari Paman Thaabi dan Bibi Fatonah yang sudah saya anggap sebagai ayah dan ibu saya sendiri," kilah Kemala.

Akulah Sity Maryam Indonesia? (SELESAI, LENGKAP)Where stories live. Discover now