Lima  Kehamilan

2.4K 48 0
                                    

Awal Juli yang cerah. Musim kemarau menebarkan jala panasnya sedari pagi. Yasa yang semalam pulangnya jam dua dini hari, baru terbangun disaat matahari 45° lagi hendak menuju puncak garis edarnya tepat diatas permukaan Indonesia bagian barat. Sesekali ia menguap. Sepertinya ia masih kelihatan ngantuk. Tapi entahlah. Di wajahnya entah ada goresan apa. Entah urat kantuk. Urat tidur. Gurat kedewasaan ataukah gurat ketuaan usianya yang kian berkurang? Ataukah terdapat urat-urat moralnya yang telah lama membeku dan tertidur pulas tak terbangunkan?

Pagi ini, Juli. Pagi menjelang siang. Yasa dalam telanjang tersinari terangnya matahari yang menerobos kaca jendela kamar. Cahaya yang sanggup menyilaukan rabun mata jiwanya yang nanar dan jalang. Lama terbuka dalam putaran jentera kemunkaran.

"Yasa!!!"

Yasa terperanjat kaget seraya menoleh ke pintu kamar. Tertutup rapat. Masih terkunci. Yasa tidak segera menyahutnya. Ada keraguan di hatinya. Ia takut suara yang memanggil namanya itu hanya bersumber dari halusinasinya saja. Lagipula suara itu bernada lembut dan sedikit parau. Yasa sejenak tertegun. Dipandangnya daun pintu kamarnya itu lekat-lekat. Ditunggunya suara itu kembali memanggilnya. Dan, suara itu kembali terdengar lagi.

"Yasa... Tolong dong!..." suara parau perempuan memelas.

"Kak Kemala!?" Yasa meyakinkan pendengarannya. Namun jawabannya;
'... srelek dug!' seperti ada sesuatu yang menumbuk pintu kamarnya.

"Kak!" pekik Yasa secepatnya meraih kain sarung yang tergeletak di sudut ranjang lalu dikenakannya serta lekas memburu pintu dibukanya.

Kemala terkulai lemah duduk bersimpuh di ambang pintu kamar Yasa. Hampir-hampir tubuhnya yang menyender ke daun pintu itu tergeletak ke lantai jika Yasa tidak segera menangkapnya.

"Kak Kemala, kenapa?" Yasa memeluk tubuh Kemala cemas.

"Antar saya ke rumah sakit," ujar Kemala pelan. Wajahnya pucat pasi.

"Kak Kemala sakit apa? Mana Umi sama Abi?" Yasa berusaha membantu Kemala berdiri dengan penuh kekhawatiran.

Sambil nyengir menahan sakit, "musyawarah di rumah Pak RT. Hu...hg." Kemala mau muntah.

"Kak Kemala masuk angin lagi!?" Yasa mendudukan Kemala di tepi pembaringannya.

"Sepertinya sakit maag. Heuo..." Kemala kembali mau muntah sambil memegangi dadanya.

"Bagaimana mungkin dalam kondisi Kak Kemala begini bisa Yasa bawa naik motor?" Yasa kebingungan sambil memegangi pundak Kemala berusaha memijitnya.

"Saya sudah tidak tahan," Kemala merebahkan tubuhnya ke ranjang sembari memegangi perutnya.

"Biar Yasa yang panggilkan Dokter kemari. Kak Kemala sabar dan istirahatlah sebentar disini," cerocos Yasa tegang menggapai kaos yang tergantung di dinding lalu bergegas pontang-panting keluar rumah...

Yasa yang hanya mengenakan sarung berlari-lari menuju rumah Mang Eful sambil memakaikan kaosnya. Kekecewaan segera menyergap wajahnya ketika mendapat keterangan dari Bi Esih kalau Mang Eful tidak ada sedang mengikuti musyawarah. Tapi tak lama kembali sedikit cerah ketika menanyakan motornya yang ternyata belum dikeluarin masih ada didalam rumah.

Yasa melesat menunggangi motornya Mang Eful menuju utara keluar dari perkampungan memecah panasnya udara siang hari yang terik.

Sementara Kemala setelah beberapa belas menit berlalu terbaring menahan segala rasa yang menyerangnya, matanya terbuka mendengar ucap salam seorang perempuan tua.

Bibirnya menjawab salam nenek-nenek yang masuk kamar itu. Kemala sama sekali tidak mengenal siapa perempuan tua berkebaya hijau tua itu.

"Nenek siapa?" Kemala memaksakan bertanya dengan ragu-ragu.

Akulah Sity Maryam Indonesia? (SELESAI, LENGKAP)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant