Tujuh  Pengakuan

1.8K 48 0
                                    

Sejenak Yasa mengitari teras rumah yang tidak ada lagi tampak Kemala berdiri disana. Lalu langkahnya turun dari beranda. Diujung samar penglihatannya tampak sesosok orang tengah berdiri di pintu pagar halaman. Yasa pun lalu berjalan menujunya. Orang itupun tampak juga berjalan keluar pekarangan tidak menunggunya. Yasa segera mempercepat langkahnya untuk mengejar sesosok bayangan gelap itu. Ia yakin sekali kalau itu adalah Kemala. Lalu ia memanggilnya sedikit teriak,

“Kak Kemala!” namun sosok hitam itu tidak menyahutmya malah kelihatan makin menambah kencang frekuensi gerak langkahnya. Yasa jadi penasaran dan sedikit kesal. Sekali lagi ia memanggilnya sambil segera berlari,

“Kak! Tungguin ini Yasa.”

“Yasa jangan lari. Saya gak kuat, aduh…” terdengar suara perempuan bereteriak tak jauh di belakangnya. Yasa jadi terperanjat kaget dibuatnya. Iapun menghentikan larinya dan menoleh ke belakang. Tampak sosok Kemala berlari kecil menyusulnya. Yasa teerhenyak. Benar itu Kemala. Bulan sepasi malam itu cukup membuat matanya melihat benar-benar jelas pada Kemala yang segera berhenti.

“Kak Kemala!?” Yasa kembali menambahkan keyakinan di hatinya. Lalu sesaat kembali melihat ke depan. Di ujung jalan yang lurus itu tampak samar sebuah bayangan gelap yang kian menjauh. Yasa tertegun. Hatinya lalu bimbang. Selintas bayangan sesuatu tiba-tiba singgah merasuki pikirannya. Yasa jadi bergidik sendiri. Bulu kuduknya seketika terasa dingin dan merinding. Jangan-jangan itu adalah…

“Kenapa sih mesti lari-lari?”

“Dikira Kak Kemala udah duluan!?” Yasa menampakkan sikap herannya.

“Saya barusan nunggu Yasa dipinggir rumah.”

“Tadi Kak Kemala melihat seseorang di pintu pagar pekarangan rumah tidak?”

“Perasaan tidak. Emangnya kenapa?”

“Justru itu Yasa berlari juga karena dikira orang yang berjalan cepat dari pekarangan rumah itu Kak Kemala. Tapi ternyata bukan. Dia malah berlari saat Yasa mencoba mengejarnya,” terang Yasa kembali melihat ke arah jalan yang akan dilaluinya.

“Yasa tidak salah lihat, kan?”

“Enggak.”

“Atau Yasa cuma mau nakut-nakutin doang?”

“Serius!” Yasa mulai melangkahkan kakinya lagi.

Kemala pun ikut berjalan tak jauh disamping Yasa. “Saya dengar Yasa mau ke rumah Lamri?”

“Alasan sama Umi saja. Kalaupun Lamri lagi ada di rumahnya, Yasa tidak mungkin dapat meminjam motornya.”

“Kenapa? Bukannya Lamri teman dekat Yasa?”

“Orangnya banyak nanya. Harus jelas. Bukannya pelit. Dikasih mah ya pastilah dikasih. Baginya, apa sih yang tidak buat Yasa? Tapi kalau tidak dibilangin ataupun dikibulin, dia pasti marah besar sama Yasa. Si Lamri itu orangnya tidak suka main rahasia-rahasiaan. And pencemburu sosial banget. Apalagi sama Yasa. Apapun yang ditanyakannya harus dijawab dengan sejelas-jelasnya.”

Keduanya terus  bejalan menyusuri kesunyian dini hari yang dingin dan senyap. Bulan sabit kian melayang condong ke tebing langit barat. Dalam samar remang rembulan itu Yasa dan Kemala sembunyikan gelapnya hati mereka pada terangnya sorot mata keluarganya.

“Masih jauh?” terdengar suara Kemala.

“Setengah perjalanan,” jawab Yasa.

Rumah-rumah penduduk sepanjang pinggiran jalan begitu tampak sepi. Hanya lampu-lampu pijar yang sebagian menerangi sekitar rumahnya. Begitu juga warung-warung kecil papan-papan kayunya masih tertutup rapat. Sebuah mesjid yang terlewatipun juga sama sepinya. Selintas kelihatan ada seseorang yang sedang mendirikan shalat di dalamnya.

Akulah Sity Maryam Indonesia? (SELESAI, LENGKAP)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon