Chapter 14

79.7K 8.3K 420
                                    

Haiii... MasyaAllah akhirnya bisa main lagi di lapak ini setelah lebih dari seminggu 😭😭 Maafkeun ya teman-teman. Ini terdengar klise alasannya, tapi emang lagi sibuk dan sedang teu kawur nulis. Gimana ya, bingung juga bagi waktunya. 🤒🤒

Anakku yang satu lagi sedang proses revisi dan kerjaan pun lagi sulit untuk dikesampingkan. Ide yang tadinya mau ditulis, jadi berkeliaran akhirnya. Gitudeh.

Semoga masih ada yang mau baca meski update-nya nggak jelas banget jadwalnya. 😒

Happy Reading



"Ma, masak apa?" Jayden masuk ke dapur mengagetkan ibunya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan ditemani dua pelayan. Berbagai macam kue dan lauk pauk sebagian telah terhidang di meja makan. Ada puding coklat ditempatkan di gelas mungil yang tengah pelayannya tata, lalu kemudian dimasukkan ke dalam kulkas.

Ibunya menoleh ke belakang punggung melihat anak tirinya yang tampak fresh memasuki dapur. Ditatapnya wajah putranya yang tidak terasa akan segera menginjak usia 24 tahun kurang dari 3 bulan lagi. Dia tinggi dan semakin beranjak dewasa, wajahnya kian serupa dengan ayahnya. Dilapisi kaus hitam polos, tubuh berotot Jayden tampak pas menyempurnakan fisiknya. Definisi yang sulit untuk dijelaskan pada paras yang terpeta di sana. Maskulin, namun di sisi lain, ia terlihat manis.

Tersenyum hangat, ibunya menjawab, "Banyak makanan. Temen Jims sore ini mau pada ke sini," Ibunya mengalihkan pandangan ke wajan yang dipenuhi udang berlumuran bumbu. "Kamu nyampe jam berapa? Tumben nginep di rumah. Biasanya ada aja alasannya kalau disuruh pulang."

"Aku kan lagi sibuk, Ma, kemarin itu." Kilah Jayden.

"Ah, masa? Dalam setahun bisa dihitung pake jari kamu nginep di rumah berapa kali. Ngeles aja." Ibunya menoleh lagi ke belakang, "Bosen ya lihat muka Mama? Atau, kamu udah punya pacar makanya lebih milih tinggal di apartemen terus?" Dengan spatula, Callia menunjuk, "Awas ya, Jay, jangan nakal. Mama nggak mau kamu nakal kayak Papa kamu atau Om Add."

"Nakal aja Mama doyan. Aku sih nggak masalah kalau dapetnya kayak Mama gini. Tapi heran kok ya Papa mau. Padahal pasti banyak cewek yang mau sama Papa." Jayden dipelototi, dan ia hanya terkekeh. "Cewek sekarang suka yang ala badboy gitu. Bingung aku juga,"

"Kamu jangan ikut-ikutan lah," Tukas ibunya seraya mendecak, dan Jayden hanya mendesah— mengacak rambutnya apatis.

"Rambut aku kayaknya kepanjangan. Nanti potong rambut ah,"  Ia mengalihkan pembicaraan. Petuah ibunya jadi angin lalu. Dirasa, tapi tak di dengar.

"Untung kamu ganteng, Nak. Nyebelin banget kamu tuh. Mama ngomong apa, kamu jawab apa." Dengusnya.

Jayden mengulas senyum menumpukan tubuhnya pada dinding dapur seraya melipat tangan di dada. Ia suka mendengar kebawelan ibunya. Ia menikmati setiap momen seperti ini saat berada di sekitarnya. "Sensitif banget ya, Nyonya? Emang Nyonya masih butuh aku ya? Di sini juga aku dicuekkin."

"Mama bilang, jangan nakal. Kamu bahas apa sih?" Ibunya memutar bola mata dan kembali melanjutkan acara memasaknya.

Jayden berjalan ke arah kompor tanam mendekati, mengambil sendok dan mencicipi masakannya. Sudah lama sekali ia tidak pernah berada di dapur membantu ibunya. Ia tidak menjawab, memilih mengabaikan ucapan terakhir yang dikeluaran wanita cantik di sebelahnya.

Definisi nakal itu seperti apa? Ia bingung apakah ia masuk ke dalam kategori itu. Apakah termasuk nakal jika ia menikmati kehidupan orang dewasa bersama dengan segala intriknya? Ia tidak merokok atau pun menggunakan obat-obatan terlarang. Rasanya kehidupan dewasanya masih normal, kecuali ... malam itu. Ia memaksa seseorang untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Ia begitu menikmati sementara perempuan itu menangis tersakiti olehnya. Terkutuk.

Lost StarsWhere stories live. Discover now