13.Mama(2)

4.4K 287 12
                                    

“Menurutku, di mata orang tua, seorang anak selalu serba salah walaupun mereka telah mengecewakanku, aku tetap menyayangi mereka dan mencintai mereka.”

***

Menurutnya, bulan Ramadhan itu menyenangkan. Sore ini Metta bertugas memasak makanan berbuka puasa untuk penghuni pasantren. Menu yang akan mereka buat yaitu kolak pisang dan juga es teh manis.

Metta dan dua santriwati yang lain—Dinda dan Naya—ditugaskan untuk membuat es teh sementara yang lain membuat kolaknya, sebelumnya mereka memasak air untuk membuat tehnya. Tempat memasaknya masih sangat sederhana dengan menggunakan kayu bakar. Sesekali mereka akan bergantian untuk memperbaiki atau menjaga api agar tetap menyala dan airnya segera mendidih, setelahnya mereka akan mengobrol bersama seraya menunggu air mendidih.

Mereka tertawa bersama mendengar lawakan dari Naya, ternyata Naya memiliki selera humor yang tinggi. Awal pertama Metta melihatnya, ia begitu pendiam tapi saat sudah akrab seperti ini, Naya jadi banyak bicara.

“Udah deh Nay, perut aku sakit!” Metta terus memegang perutnya.

“Hehehe... perasaan gak lucu deh,” Naya menggaruk kepalanya yang tertutup oleh hijab biru langit.

Itu menurut Naya tak lucu, tapi menurut Metta dan Dinda itu sangatlah lucu. Bagaimana tidak? Naya menceritakan pengalamannya saat ia pertama kali belajar mengendarai motor yang di mana ia jatuh di got depan rumah pria yang ia sukai dan saat itu pria yang Naya suka sedang di depan rumahnya bermain basket. Bajunya basah. Naya ditolong sama pria itu, tapi untuk menyembunyikan malunya Naya pura-pura pingsan.

Seorang santriwan masuk ke dapur mencari Metta dan mengatakan kalau Metta dipanggil Salim. Merasa namanya disebut, Metta bangkit dari duduknya, ia pun bertanya pada santriwan itu.

“Abah cari aku?”

“Iya, katanya kamu langsung ke rumah Kyai saja,”

“Makasih ya....”

“Sama-sama atuh.”

Santri itu pamit pada Metta, sedangkan Metta membalikkan badannya ke Naya dan Dinda. Sebelum pergi ia pamit terlebih dahulu pada Naya dan Dinda serta santriwati lainnya yang juga bertugas memasak makanan untuk berbuka puasa.

Di perjalanan menuju rumah Kyai Abdullah, Metta bertanya pada dirinya sendiri. Abah mencarinya? Kenapa? Apakah ia akan diberikan tes lagi sedangkan dua hari yang lalu ia sudah diberikan tes, atau jangan-jangan nilai tesnya jelek?. Metta jadi takut.

Sesampainya di depan rumah Kyai Abdullah, tubuh Metta menegang saat itu juga, di sana terdapat sepuluh pria bertubuh tegap berdiri di depan pintu rumah Kyai Abdullah. Metta kenal mereka, mereka adalah anak buah dari orang tuanya. Tiba-tiba jantungnya berpacu lebih cepat dari batas normalnya, ia juga berpikir buruk, jangan-jangan di sana, di dalam sana ada orang tuanya.

Metta memasuki rumah Kyai Abdullah dengan mengucapkan salam, melewati sepuluh anak buah orang tuanya yang menunduk hormat padanya

Suasana dalam rumah mencekam ketika Metta masuk. Pandangan mata Metta bertemu dengan Mira—mamanya. Di mata yang sembap itu Metta bisa melihat pancara kerinduan untuknya, serta penyesalan. Diedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, terdapat Ali, Andra, Salim, Ratna, Kyai Abdullah juga kedua orang tuanya di ruang tamu rumah Kyai Abdullah ini. Tiba-Tiba saja mata Metta berkaca-kaca ketika mengingat kejadian sebulan yang lalu. Mama dan Papanya kemari? Untuk apa?.

“Metta,” lirih Mira.

Metta mengalihkan pandangannya ke arah lain yang terpenting ia tak melihat mata mamanya yang menangis dan tak ingin dianggap lemah karena ini.

Bidadari Dirindu Surga [REVISI]✔️Where stories live. Discover now