23. Pasantren (2)

4.2K 223 2
                                    

“Ketahuilah, hatiku gundah saat dia juga berada di tempat yang sama dengan kita. Aku takut dia merebutmu dariku.”

***

Sesuai dengan rencananya kemarin, Bagas akan mendatangi pasantren tempat Metta menuntut ilmu. Dengan menggunakan baju kemeja kotak-kotak berwarna hitam dan putih, sekarang Bagas berada di pasantren.

Semua orang melihatnya dengan tatapan heran. Maklum saja, mereka pasti baru melihat Bagas walau Bagas sudah pernah sekali ke pasantren ini.

Bagas terus melangkah, tak peduli dengan tatapan para santriwan dan santriwati yang terus metapnya dengan tatapan bertanya mereka. Bagas tak tahu ke mana tujuannya, tak ada yang ia kenal di sini. Dengan santainya ia berjalan menghampiri beberapa santri yang sedang membaca buku di bawah pohon mangga samping madrasah.

“Permisi….” Semuanya santri menghentikan kegiatan membaca mereka.

“Walaikumsalam….” Salah satu santri menjawab salam padahal Bagas sama sekali tak mengatakan salam. Setelah itu, semua santri itu kembali melanjutkan kegiatan mereka membaca tanpa mempedulikan Bagas yang kini telah menggeram kesal.

“Gue kemari tanya baik-baik sama lo semua, kenapa jadi gini sih?.” Katanya kesal.

Tak ada yang menyahut satu pun dari mereka. Karena emosi, Bagas menarik kerah baju seragam santri yang tadi menjawab salam padanya.

“Lo berani banget ya, gue kemari datang baik-baik.”

“HEIII!!!” pekikkan seorang gadis yang familier di telinga Bagas, membuat Bagas dan para santri itu menoleh. Dengan kesalnya, Bagas melepaskan kerah seragam santri itu dengan kasar.

Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Icha itu menghampiri mereka semua.

“Kamu lagi! Ngapain sih kamu di sini? Datang-datang cari masalah aja. Ini bukan di lingkungan luar yang bisa kamu pakai untuk pukul orang.”

Bagas tersenyum sinis. “Gue datang kemari dengan sopan tapi…” Bagas menjeda perkataannya beberapa detik kemudian melanjutkan lagi perkataannya.

“Mereka semua gak sopan sama gue. Pasantren apaan sih ini? Masa santrinya gak sopan sama tamu.”

“Semua pasantren pasti mengajar santrinya dengan tata krama dan sopan santun. Kamu kira tadi aku gak liat kalau kamu gak ngucapin salam sama mereka. Mereka kayak gitu biar kamu ucapin salam,” balas Icha.

“Sebenarnya yang gak punya sopan santun itu siapa sih? Mereka atau kamu?” imbuh Icha bertanya pada Bagas.

Bagas menghembuskan napasnya kasar. Kenapa di sini ia bisa bertemu dengan gadis menyebalkan ini?. Rasanya dunia itu sempit karena selalu bertemu dengan gadis menyebalkan ini.

“Terserah lo! Gue kemari bukan buat cari masalah sama cewek nyebelin kayak lo, tapi gue kemari mau cari Metta.”

“Ngapain kamu cari Kak Metta. Kak Metta juga gak berharap tuh kamu cari dia,” balas Icha tentu membuat Bagas menggeram. Well, ucapan gadia di depannya ini memang telak.

Bagas mengepalkan tangannya menahan amarah akibat Icha yang terlalu berani padanya. Jujur saja, ia sama sekali tak pernah berdebat seperti ini dengan gadis-gadis, dan Icha adalah gadis pertama yang membuatnya berdebat seperti ini.

***

Duduk bersampingan di bangku taman pasantren, dibatasi oleh delapan buku-buku tebal di antara mereka, Metta memijat-mijat pelipisnya saat tahu jika Bagas datang ke pasantren. Ia menghela napasnya panjang. Rasanya lelah melihat tingkah Bagas sekarang yang terus menatapnya tanpa berkedip.

“Kamu bisa gak sih berhenti liatin aku. Aku takut nanti kamu malah zina mata.”

Bagas terkekeh pelan, lalu berkata, “Bu Ustadjah kok makin cantik aja?”

Metta menghela napas saat mendengar perkataan Bagas, dua minggu tak bertemu, Bagas kembali seperti dulu. Sifat menyebalkannya kembali.

“Bu Ustadjah ngapain sih di sini?”

“Ya nuntut ilmu lah,” jawab Metta terdengar sewot.

“Bu Ustadjah berhenti nuntut ilmu karena ilmu gak ada salah sama Bu Ustadjah.”

Metta hanya bisa mengelus-elus dadanya, berusaha meredam emosinya akibat perkataan Bagas.

“Terserah kamu aja!” seru Metta menyerah dengan nada suara yang sedikit meninggi.

“Bu Ustadjah jangan keras-keras ngomongnya, suara itu adalah aurat.”

“Gimana suara aku gak keras kalau kamu mancing-mancing?”

“Bu Ustadjah bukan ikan yang harus dipancing,” balas Bagas.

Metta kini sekarang berada di puncak kekesalan yang paling tinggi. “Bodo amatlah!”

“Amat gak bodoh-bodoh banget kok Bu Ustadzah, buktinya dia dapat rangking kemarin.”

“Terserah”

Metta bangkit mengambil buku yang tadi ia bawa, kemudian melangkah meninggalkan Bagas di sana sendiri, tak peduli dengan Bagas yang terus memanggilnya. Metta tetap melangkahkan kakinya meninggalkan Bagas, sedangkan Bagas mengejar Metta yang kini telah jauh darinya.

***

Entah karena direncana atau tidak, sengaja atau tidak sengaja tanpa diduga Putri datang ke pasantren. Setelah hampir tiga bulan Putri mengambil cuti karena pergi mengunjungi keluarga di Surakarta pada akhirnya ia kembali, di pasantren bersamaan dengan hari kedatangan Bagas di pasantren. Putri juga ke pasantren bukan hanya sendiri, melainkan bersama kedua kakak laki-lakinya dan juga kedua orang tuanya.

Metta menyadari itu merasa gundah. Bukan karena apa. Ia mengaku jika ilmu agamanya belum sebagus Putri, Metta merasa gundah karena takut jika Ali dan juga Putri akan dijodohkan, apalagi Putri datang dengan kedua orang tuanya dan juga kedua kakaknya dan ditambah juga keluarga Ali dan Putri dekat.

Perasaan menyesal tiba-tiba menghinggapi dirinya. Kenapa ia tak menerima pinangan Ali kemarin? Kenapa ia menyuruh Ali untuk menunggunya?. Ah, sungguh Metta menyesal.

Suara Icha menegur membuyarkan lamunan Metta. “Kak Metta dari tadi ngelamunin apa sih?.”

“Gak kok, cuma kangen aja sama Mama Papa di rumah. Kan udah dua minggu gak ketemu sama mereka.”

Tak sepenuhnya Metta berkata jujur pada Icha. Ia hanya tak ingin Icha mengetahui hatinya yang sedang gundah saat ini. Sedangkan Icha hanya manggut-manggut saja tanpa bertanya pada Metta yang lebih lanjut lagi, ia tahu jika Metta tadi tak sepenuhnya jujur padanya, namun mau diapa lagi jika Metta tak ingin jujur padanya. Tak mungkin jika ia mendesak Metta untuk berkata jujur.

“Ya udah, aku balik ke kamar dulu ya.” Metta pamit undur diri.

Icha hanya mengangguk. Setelah Metta benar-benar pergi dari hadapannya, ia juga bangkit dari duduknya untuk kembali ke rumah kakeknya.

***

Assalamualaikum....

Alhamdulillah....

Update lagi... Update lagi... Update lagi...

KUYYY DIBACA!!

SPAM NEXT AYOK DI KOLOM KOMENTAR

JANGAN LUPA... VOTENYA JUGA.
KASIH FIYY BINTANG BIAR FIYY SEMANGAT

Salam sayang dari si penulis amburadul

Fiyy

Bidadari Dirindu Surga [REVISI]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang