TBIT #06

2.9K 303 65
                                    

Di sebuah ruangan bercat putih yang kental dengan bau obat-obatan terlihat Deril tengah duduk di samping ranjang dengan menggenggam tangan sang adik yang terlihat damai dalam tidurnya.

Satu jam yang lalu Deril mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk menuju rumah sakit, satu jam yang lalu dokter memeriksa sang adik dengan sangat lama, satu jam yang lalu seseatu yang mengejutkan disampaikan oleh dokter kepada Deril, dan satu jam yang lalu hidup Deril terasa hancur sehancur-hancurnya ketika dokter mengatakan jika Alfa tidak sadar dalam waktu 24 jam makan Alfa dinyatakan koma. Adik yang ia sayangi, adik yang ia jaga mati-matian demi janjinya kepada sang mama kini terbaring tak berdaya di ranjang dengan berbagai alat medis menempel ditubuhnya.

Diruangan ini hanya kesunyian yang menyelimuti mereka berdua ditemani suara mesin EKG yang menandakan bahwa jantung itu masih berdetak walaupun tubuhnya tak bergerak dan mata yang terpejam rapat.

Deril menggenggam erat tang Alfa seolah ingin menyalurkan kekuatan agar sang adik cepat bangun. Namun kekuatan apa yang akan ia salurkan sedangkan saat ini Deril sedang merasa lemah, hancur dan tak berdaya dengan keadaan yang ada, yang ia lakukan saat ini adalah berdoa memohon untuk keselamatan sang adik yang di barengi dengan buliran bening yang terus meluncur bebas dan semakin deras ketika kata-kata dokter terngiang kembali di ingatannya.

Deril memang sosok kakak yang dingin, galak, tegas, tangguh dan kuat dimata siapa pun termasuk adik-adiknya namun tidak dalam kondisi seperti ini. Saat ini Deril tidak peduli terlihat lemah dimata siapa pun, di tempat ini ia hanya seorang kakak bukan seorang CEO sebuah perusahaan maka biarlah ia menangis tersedu diruangan ini. Tangisan pilu seorang kakak yang mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya, sungguh ini lebih menyakitkan dibanding apapun.

“Ini tidak adil.. sangat tidak adil.” Genggaman tangannya semakin erat kepada sang adik.

“Kenapa harus adek? Kenapa hal seperti ini harus Deril rasain lagi?” Deril menjambak rambutnya frustasi dengan sebelah tangannya yang tidak menggenggam tangan Alfa.

“Deril gak akan sanggup merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya ma... kenapa  harus adek ma? Kenapa?!” Deril sudah tak bisa mengontrol dirinya, perasaan takut menguasai dirinya.

“Adek sudah cukup menderita karena kejadian itu mah. Jangan biarin adek lebih menderita lagi.”

“Kamu kuat dek.. kakak sangat tau kamu. Kamu gak suka liat orang-orang sedih ataupun khawatir sama kamu, jadi cepat buka mata kamu.” Deril mengecup lembut tangan Alfa.

“Kakak akan lakuin apapun buat kamu,” ucap Deril dengan suara yang serak.

Suasana ruangan menjadi hening kembali, hanya terdengar suara alat pendeteksi jantung. Setelah berbicara panjang lebar tanpa di sahuti siapapun, Deril diam dan membenamkan wajahnya di sebelah tangan Alfa yang masih ia genggam hingga Deril terlelap.

*
Malam pun tiba, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Alfa masih betah dalam tidurnya. Deril sudah terbangun dari tidurnya sejak sore tadi dan yang dilakukannya saat ini hanya memandang wajah pucat Alfa tanpa bersuara sepatah kata pun karena ia tak sanggup mengucapkan apapun lagi. Tenggorokannya seakan tercekat, dadanya sesak seperti terhimpit bebatuan besar melihat Alfa terbaring lemah seperti ini. Biarlah menangis dalam diam yang menjadi pilihannya saat ini.

Tiiinnggg......

Suara ponsel di saku celana yang Deril kenakan memecah keheningan di ruangan tersebut, sebuah pesan dari mamanya Fanya.

Mama Fay:
Deril, kamu dimana?
Apa kamu bersama Alfa?

Deeeggghh.....

The Boy Is TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang