TBIT #11

2.4K 251 38
                                    

Uang bukanlah segalanya.
Uang gak akan buat gue bahagia.
Kalian harus tahu satu hal, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah sebuah keutuhan dan kasih sayang yang tulus di dalam sebuah keluarga. Dan gue Cuma butuh itu saja.
_Alfarelio_

♦♦♦

Sebuah motor sport berwarna hitam terparkir di sebuah tempat yang sudah tak asing lagi untuk si pemilik motor hitam, tempat yang selalu ia kunjungi setiap rindu itu datang menghampiri.

Dengan masih mengenakan seragam sekolah ia berjalan menuju ke sebuah tempat dengan nisan keramik yang terukir sangat indah di tempat tersebut yang bertuliskan Kanya Wijaya.

Dengan langkah pelan seraya menggenggam sebuah bouquet mawar putih untuk ia berikan kepada seseorang yang sudah lama pergi darinya. Setiap ia merasa senang ataupun sedih, Alfa selalu mengunjungi makam sang mama. Dan kali ini, Alfa sedang merasa sedih, hancur dan kecewa.

Apa yang tidak sengaja ia dengar beberapa waktu lalu masih terngiang jelas di ingatannya. Bagaimana pertengkaran yang terjadi pada Leo dan Fanya serta kenyataan atas apa yang telah di ungkapkan oleh Fanya.
Semua itu masih sangat jelas dan bergentayangan di otaknya. Alfa mendengar semuanya, Alfa melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ternyata hubungan Fanya dan Leo sangatlah tidak harmonis.

Lalu, yang terlihat di depannya selama ini itu apa? Hanya sandiwara? Benarkan hanya sandiwara? Alfa sangat tidak habis pikir dengan semua ini. Mengapa bisa? banyak sekali pertanyaan yang terlintas di benaknya.

Ingin sekali ia bertanya langsung pada mereka, namun bagaimana caranya untuk memulai? Mengetahui secara diam-diam saja rasanya sangat menyakitkan apalagi harus bertanya langsung. Dan pasti mereka juga tidak akan jujur padanya, sama saja bohong kalo begitu.

Biarlah, biar waktu yang akan  memberi jawaban atas semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya.

Saat ia sampai di tempat yang ia tuju, Alfa berjongkok dan meletakan bunga di atas makam Kanya. Berlutut kemudian berdoa sejenak, dan tidak lupa ia membersihkan makam sang mama dari daun-daun kering yang ada disana.

“Ma... Alfa dateng lagi,” ucapnya pelan seraya mengelus nisan yang bertuliskan nama sang mama.

“Alfa kangen sama mama,” ucapnya lirih.

“Mama pasti tahu kenapa Alfa dateng kesini.”

“Hati Alfa hancur ma, Alfa kecewa sama papa, Alfa benci sama papa. Papa nyakitin dua wanita terbaik dalam hidup Alfa.”

“Alfa tau Alfa nakal, Alfa suka bikin onar, Alfa suka melanggar peraturan, Alfa suka membangkang, Alfa juga suka bikin mama, kakak, papa dan Alfi lelah menghadapi sikap Alfa. Alfa tau itu ma...”

“Tapi, senakal-nakalnya Alfa. Alfa gak pernah nyakitin perempuan, Alfa gak pernah nyakitin orang-orang yang Alfa sayang dan sayang sama Alfa. Gak pernah sama sekali dan Alfa gak suka melakukan hal sebrengsek itu ma.”

Suara Alfa sedikit bergetar menahan emosi yang ada pada dirinya, emosi yang ingin menerobos pertahanannya.

Matanya sudah mulai berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat demi kalimat kepada angin. Seakan-akan itu adalah belaian tangan dari sang mama. Hembusan angin menyapu kulitnya, sepertinya cuaca hari ini terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin angin ikut merasakan apa yang kini ia rasakannya.

“Ma... kenapa mama bisa nyembunyiin kebejatan papa dari kami?” Alfa berkata lirih.

“Kenapa mama ngerasain sakit itu sendirian?”

“Kalo mama bagi sedikit aja beban mama ke Alfa, pasti kondisi mama gak akan semakin parah. Tapi... Alfa tau, Tuhan gak ngijinin mama ngrasain sakit terlalu lama. Makanya mama pergi ninggalin kami.”

The Boy Is TroublemakerWhere stories live. Discover now