45

1.4K 99 2
                                    

Pandangan kosong Mikayla alamatkan pada buku cetakan tebal yang ada dihadapannya. Berkali-kali pula Mikayla mengarahkan pandangannya kearah Aditya yang sibuk berbincang dengan Arman.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Mulai besok ia tak akan tinggal di rumah Aditya lagi, rumah dimana ia bisa mendapatkan kehangatan keluarga. Ia akan menapaki aktivitas di tempat yang baru, suasana yang berbeda. Tak ada senyum Aditya yang bisa ia lihat kapanpun yang ia mau. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat baginya untuk menatap Aditya selama yang ia inginkan.

"Dit, gue harap loe nggak akan menghindari gue setelah ini, nggak kecewa sama gue setelah ini, ataupun nggak menaruh kebencian ke gue setelah ini. Gue melakukan semua ini bukan tanpa alasan. Keselamatan loe jauh lebih penting dibandingkan keegoisan gue, yang ingin mendapatkan keluarga baru saat tinggal di rumah loe."

"Mika!"

Mikayla terkesiap karena Aditya, orang yang baru saja ia pikirkan sudah muncul dihadapannya.

"Kenapa, Dit?"

Cowok berparas tampan itu menampakkan senyum tipis. "Nggak papa! Oh iya, katanya dokter Anjani bakalan cek kondisi kaki aku sore nanti di rumah."

Untuk sejenak Mikayla bisa bernapas lega, Marissa mengikuti saran yang ia ajukan. Menghubungi dokter Anjani memang pilihan yang paling tepat. Setidaknya, Aditya akan tahu seberapa besar kondisi kakinya bisa kembali pulih, dan Mikayla sendiri bisa tenang, tanpa berpikiran macam-macam perihal kondisi kaki Aditya yang akan membuatnya pesimis.

***

Leni, Nela, dan Vicka menghalangi langkah Mikayla tepat didepan pintu kelas. Mata Mikayla terputar dengan malas. Ada apa lagi ini?

"Minggir!", ujar Mikayla dingin, yang mendapat gelengan tegas dari Leni.

"Setelah apa yang loe lakuin ke gue di kantin, apa gue bakal lepasin loe gitu aja?!"

"Orang kaya marah ternyata?! Tapi, maaf, nggak ada waktu buat ngeladenin orang kayak loe!"

Ketiga gadis itu bukannya menyingkir dan memberi jalan, mereka malah makin menghalangi. Memang seperti itulah orang yang senang mencari masalah dengan orang lain, menyikapi segala sesuatu secara berlebihan.

"Loe! Loe itu cuma seorang pembantu, dan loe sama sekali nggak level buat ngomong macem-macem sama gue! Ngerti, loe?", Leni mendorong tubuh Mikayla hingga sedikit terhuyung ke belakang, tapi untung saja Mikayla bisa menjaga keseimbangan. Seringaian muncul dari wajahnya.

"Kalo loe merasa nggak selevel ngomong sama pembantu, kenapa loe sampai menghalangi jalan gue?"

Mikayla mendorong balik tubuh Leni, hingga jatuh terduduk di lantai. Mikayla mencondongkan tubuhnya ke arah Leni, menatap Leni bengis. "Sumpah, yah! Nggak ada orang yang se-memuakkan kalian bertiga! Hobinya main keroyokan! Apa kalian pikir imajinasi kalian yang kelewat liar itu akan kejadian di dunia nyata? Jangan pikir kisah kalian itu akan sama kayak di novel ataupun film yang pernah kalian liat! Jangan pikir pembantu nggak bisa menjadi orang yang jauh lebih jahat, dan pembantu akan selamanya menjadi bahan dan objek bully- an."

Tak peduli apa komentar warga sekolah mengenai dirinya, yang jelas Mikayla sudah mengeluarkan segala kekesalannya pada tiga gadis kurang kerjaan itu. Jika bisa, ia akan gantung ketiga gadis itu di tiang bendera sekolah. Untungnya ia tak sampai sekejam itu. Ia masih punya sedikit hati nurani.

Mikayla dan AdityaWhere stories live. Discover now