I Don't Want To Say His Name

1.8K 174 9
                                    

Isakan Tammia McKenzie masih terngiang di benakku. Aku tidak dapat berkonsentrasi membuat croissant hari ini. Kulemparkan adonan croissant ke mangkuk adonan, lalu aku termenung beberapa saat dan membayangkan wajahnya yang menangis sampai hatiku terasa pedih dibuatnya.

Aku tahu ia menangisi orang itu. Wajahku ini membuatku membenci diriku sendiri. Kenapa aku harus mirip dengan laki-laki itu? Setiap aku berjalan keliling kota banyak orang mengira aku adalah dirinya, laki-laki yang tak ingin kusebut namanya. Mereka semua terkejut ketika melihatku, kenapa orang yang sudah lama meninggal bisa berjalan-jalan keliling massachussets dan membeli bahan-bahan untuk membuat kue.

Aku membasuh tanganku lalu berjalan menuju kamarku dan membuka laci yang berisikan surat dari laki-laki itu dan beberapa gambar dirinya dan wanita yang kemarin menangis di pelukanku mengira bahwa aku kekasihnya yang sudah lama meninggalkan dunia ini. 

Kupandangi senyuman Tammia, ia begitu bahagia dan bebas, seakan-akan dunia ini ada di pihaknya. Rambutnya tergerai dan tertiup angin hingga Tammia harus menyematkan beberapa rambutnya di atas telinganya. Gambar satu lagi memperlihatkan pria itu tersenyum ke arah Tammia dan Tammia tersenyum ke arah kamera. Tampak gelas wine di sekitar meja kecil mereka dan cake yang bertuliskan 'happy anniversary us'. 

Laki-laki ini rajin mengirimiku surat dan foto kisah kehidupannya. Ia ingin aku mengenalnya dengan lebih baik. Ia ingin aku menganggap dirinya sebagai kakak laki-laki ku. Padahal untuk bertatap wajah dengannya saja aku tak tahan. Memang kehancuran keluarga ku bukan sepenuhnya salahnya, ini kesalahan Ibuku dan Ayahnya. Namun, aku tidak ingin menyalahkan segalanya pada Ibuku dan aku jarang bertemu dengan Ayahnya maka aku harus melampiaskan kekesalan ini padanya.

 Tetapi satu hal yang membuatku sangat kesal, laki-laki itu tidak pernah marah padaku ketika aku selalu membentak, mencaci bahkan memukul perut dan wajahnya. Ia hanya tersenyum bahagia. Betapa sombong dirinya, ia selalu tersenyum seperti aku bukanlah masalah apa-apa di dalam kehidupannya.

Dengan bangganya di hari itu ia menunjukkan foto kekasihnya yang mengenakan gaun putih, yang ia pajang di tembok apartemennya. Aku tidak peduli dengan kehidupannya kenapa ia selalu memaksaku untuk masuk ke dalam kehidupannya yang sama sekali tidak ingin ku jamah. Aku ingat ia menunjukkan foto tersebut lalu berkata padaku 

"Cantik kan dia? Seperti Bidadari." 

Aku tidak merespon apapun dan hanya mendengus kesal mendengar nada bicaranya yang begitu bahagia membahas kekasihnya. Karena aku tak tahan dan kesal aku hanya mengatakan hal ini agar membuat dia kesal padaku dan berharap akan membalas pukulanku yang selama ini ku layangkan ke arahnya 

" Cantik dan seksi, aku bisa menidurinya kan? Oh, atau dia boleh menjadi milikku?" 

Aku sengaja membuat diriku terdengar sangat brengsek. Namun laki-laki itu hanya terdiam dan tidak menatapku lalu bergumam dengan nada yang sangat lembut, hampir tidak terdengar olehku namun aku menangkap perkataannya 

," Jika aku mati kau bisa memilikinya Maxon. Aku ingin kau yang melindunginya ketika aku tiada. Kau boleh menidurinya tetapi dengan lembut dan penuh cinta." 

Aku tidak percaya laki-laki itu akan berkata seperti itu padaku apalagi mengenai kekasihnya yang ia puja setiap saat.

Mengingat percakapan kami beberapa tahun yang silam di malam itu membuat pikiranku kacau dan tubuhku letih. Lalu kubuka surat yang berisikan permintaan laki-laki itu untuk menjaga kekasihnya selama ia berada di New York.

Dear Maxon,

Aku akan pindah ke kantor yang berada di Boston. Kantorku tidak akan jauh dari toko pastry mu. Betapa senangnya aku dapat membayangkan diriku setiap pagi membeli sarapan di toko pastry mu sebelum berangkat ke kantor. Tammie belum mengetahui kabar ini, minggu depan Tammie akan datang ke New York dan akan ku sampaikan kabar ini padanya, ku harap dia tidak marah dengan rencanaku ini.

Sebelum aku benar-benar pindah ke kantor di Boston, aku ingin kau menjaga Tammie-ku sebelum aku menyusul nya ke Boston. Beberapa minggu terakhir perasaanku tak enak jika memikirkan Tammie mengendarai mobilnya sendiri ke kantor, berjalan kaki di tengah malam setelah acara makan-makan bersama rekannya atau naik pesawat menuju New York untuk menemuiku. Maxon my little beloved brother, maukah kau menjaga Tammie, melindunginya, berada di sampingnya selama aku tak ada?

Mungkin ini terdengar seperti orang yang akan meninggalkan dunia ini dan menuliskan pesan terakhirnya. Namun, aku hanya ingin Tammie-ku baik-baik saja selama aku tidak ada disampingnya, dan satu-satunya orang yang ku percaya adalah dirimu lil'bro. Aku tahu kau pria yang baik dan aku mempercayakan Tammie padamu.

Lots of love

Daniel Giorgio

PS: I'm always be your brother no matter how you hate it. Because DNA never lie and that's a fact Max. 

Cappuccino [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang