I Like Being With Him

1.8K 146 1
                                    

Sudah hampir tiga minggu aku menghabiskan waktu di tempat Maxon. Ayahku sebetulnya tidak terlalu menyukainya begitupula dengan Ibuku. Apalagi kakakku Trevor, selalu menghalangiku jika aku akan bertemu dengan Maxon.

Viola di satu sisi bersikap berbeda denganku, bahkan jarang membalas pesan dan mengangkat teleponku, aku sendiri tidak tahu kenapa, setahuku Viola dan Maxon sudah mengakhiri hubungan mereka dari lama.

Dokter Melissa bangga dengan perubahanku dan meminta Maxon untuk terus menyibukkanku dengan berbagai kegiatan.

Dokter Melissa mengatakan Maxon sebagai tameng untuk menghilangkan triggerdepresi yang selama empat tahun kualami.

Jujur, aku sendiri tidak tahu hubungan apa yang sedang kami jalani.

We do kiss, cuddle, make out, messing around like a teenager but not yet having sex. Memikirkan berhubungan seksual dengan Maxon saja membuatku salah tingkah sendiri.

Karena semua hal tentang Maxon lumayan mengingatkanku akan Daniel. Secara fisik jelas Maxon seperti refleksi diri dari Daniel. Sifat dan lain sebagainya? Maxon jauh dari Daniel yang kukenal.

Apalagi jika kami sedang make out seperti ini. Saat ini aku berada di dapur dan membantu Maxon membuat Pastry.

Bukannya kami melanjutkan membuat Pastry, tetapi kami saling menggerayangi tubuh satu sama lain. Kurasa wajahku sudah penuh dengan tepung begitupula dengan Maxon.

Sebetulnya aku tidak mau membandingkan cara berciuman Maxon dan Daniel namun aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Daniel, lebih hati-hati dan pelan seperti takut aku akan retak atau pecah, sedangkan Maxon lebih liar, ganas, panas dan seksi.

Tidak segan-segan Maxon menekankan tubuhku ke meja dapur lalu menahan tanganku ke atas dan menggigit bibir bawahku berkali-kali. Aku melingkarkan kakiku ke pinggang Maxon dan menekan wajahnya hingga bibirnya menekan bibirku lebih dalam. 

Maxon mengerang di dalam bibirku dan tidak melepaskan lidahnya di lidahku. Dada Maxon menekan dadaku serta tangan Maxon menggerayangi pahaku serta paha dalam ku.

Saat bibir Maxon menuju leherku dan menggigit nya bisa kurasakan tubuh bagian bawahku ingin segera merasakan Maxon saat ini juga.

Astaga, kenapa aku menjadi sangat erotis seperti ini?

Bersama Daniel segala sesuatunya sangat pelan dan pasti. Bersama Maxon aku ingin segera dan cepat melakukannya. 

Tanpa sadar aku sudah membuka celana Maxon dan Maxon berhenti menciumku lalu menatap mataku dengan mata abu-abunya.

"Tam..." Bisa kulihat ekspresi wajahnya sangat terkejut. Ya, aku juga terkejut dengan apa yang kulakukan saat ini.

"Sorry," Kukancingkan lagi celana Maxon lalu pelan-pelan turun dari meja dapur dan merapikan pakaian, rambut serta membersihkan tepung dari wajahku.

"Maaf aku terlalu terkejut karena terlalu tiba-tiba," Kata Maxon dengan suara yang terdengar seperti bergetar.

"It's okay, I'm not ready either," Maxon melingkarkan lengannya di pinggangku lalu mencium lembut leherku. 

"Kalau kau mau, kita bisa melakukannya perlahan-lahan, aku tidak mau seks menghancurkan segala hal yang kita miliki saat ini, we are in a good term and in our own bubble, I don't want to ruined it with a sex" Yap, memang hanya aku saja yang terlalu horny.

Aneh bukan? Selama empat tahun aku menangis dan menangis menginginkan Daniel kembali namun sekarang aku hanya menginginkan Maxon berada disampingku selamanya.

Hati, kenapa kau mudah sekali terbolak-balik?

Lalu, bagaimana bisa Maxon menahan hal itu selama ini? Maksudku, aku tahu reputasinya yang sangat jelek di kalangan wanita. Playboy, man-whore,tidur dengan wanita ini dan itu.

Sekarang, dia yang menahan hal ini agar tidak terjadi, menahan kami untuk tidak melakukan hubungan seksual sama sekali, sampai kami yakin apa hubungan yang sedang kami jalani ini.

Maxon membalikkan tubuhku untuk menghadapnya lalu mengecup lembut hidungku.

"Kau akan menginap disini?" Tanyanya. Aku sudah hampir setiap malam menjadi penghuni tetap kamar tidur kecilnya.

"Hemm... Maybe, tergantung Ayahku akan mengizinkan hal ini atau tidak," 

"Tam, kau hampir setiap malam menyelinap ke kamarku lalu diam-diam masuk ke dalam selimutku, aku ragu selama ini kau meminta izin dari Ayahmu," Aku terkekeh. 

Memang benar hampir setiap malam aku diam-diam kemari. Entah kenapa, aku tidak pernah tidur dengan tenang di tempat tidurku sendiri. Rasanya kamarku sekarang seperti sebuah makam kenanganku dan Daniel, terlalu banyak memori terlalu banyak hal pahit di dalamnya.

"Well,kalau seorang Maxon Dobrev memaksa aku akan menginap disini,"

"Aku tidak memaksamu kau yang volunteer meningap disini setiap malam," 

"Yeah yeah... whatever Dobrev," Kulemparkan tepung ke wajahnya lalu Maxon terkejut dan senyum jahil muncul di wajahnya dan dia melemparkan tepung ke arah yang sama padaku lalu ia mengejarku sampai kami berada di kamar kecilnya.

Maxon mengangkatku ke tempat tidur lalu menggelitiki tubuhku hingga aku tidak bisa berpikir jernih karena geli sekali, aku tertawa terbahak-bahak kurasa gedung sebelah bisa mendengar suara tawaku yang sangat kencang.

Kubalas perbuatan Maxon padaku lalu ia tersungkur terjatuh dan tertawa. Kugelitiki perutnya lalu lehernya. Aku tahu beberapa malam yang lalu bagian tersensitif Maxon adalah leher.

Maxon meminta ampun padaku sambil tertawa, untuk memintaku berhenti menyiksanya dengan serangan yang kuberikan padanya. Hingga kami sama-sama terengah-engah di lantai kayu dan saling menatap mata masing-masing lalu tertawa lagi menertawakan hal yang kami juga tidak tahu apa yang kami tertawakan. 

Kami terlalu geli dan terlalu terlarut dalam kegembiraan.

Kuhampiri Maxon lalu merebahkan lenganku ke dada bidangnya lalu menggapai bibirnya dengan bibirku dan aku menciumnya dengan ciuman yang sangat lambat, rasanya semanis gula dengan percampuran tepung.

Maxon menggapai kepalaku lalu menekanku dengan lembut hingga aku berada diatasnya dan masih tidak melepaskan bibirku darinya. Tangannya kini menekan pinggangku dan aku menekan tubuhku ke tubuh Maxon hingga kami lagi-lagi seperti sebuah kepompong yang takkan bisa di lepaskan. 

Gigi kami berbenturan, lidah kami bertemu dan nafas kami bertukar. 

Sungguh, situasi ini adalah situasi yang sangat sempurna yang aku sendiri enggan untuk melepasnya, hingga sebuah aroma cappuccino menyeruak ke seluruh ruangan dan membuatku tersentak kaget dan kulepaskan diriku dari Maxon.

Kepalaku seperti mau pecah, suara I love you yang dilontarkan Daniel pada hari itu menggema diseluruh ruangan.

Kututup telingaku dengan kedua tanganku. 

Mataku tidak dapat lagi fokus menatap Maxon namun kuyakin dia memanggil-manggil namaku yang terdapat kekhawatiran di dalamnya.

Maxon menekan-nekan pundakku lalu mengatakan sesautu yang aku sendiri tak paham dan tak jelas mendengarnya. Aku menggeleng berkali-kali lalu menekan bibirku dengan gigiku, hingga kurasakan rasa darah di mulutku.

 Maxon memelukku lalu mengelus punggungku namun aku sudah tak kuasa menahan rasa sakit yang terdapat di kepalaku hingga segalanya menggelap. 

Cappuccino [END]Where stories live. Discover now