Serenity That Come to Us

3.8K 171 8
                                    

Aku duduk diantara Viola dan Maxon kemudian Maxon berdiri dari duduknya lalu ia mendentingkan gelas kosong hingga membuat semua orang menoleh ke arahnya. Aku juga bertanya-tanya sebetulnya apa yang ia lakukan kini.

"Mohon perhatiannya. Yes, right here... at me... at my face please," Semua orang tertawa atas wajah komikal Maxon ketika mengatakan hal tadi.

Kemudian, kami semua terfokus kepadanya yang sedang meletakkan gelas kosong diatas meja lagi lalu ia merogoh saku celana panjangnya hingga aku hampir saja ingin memekik dengan gembira setelah melihat apa yang sebenarnya ia ambil dari saku celananya.

"Kalian pasti tahu, kotak apa ini," Semua orang merespon hal yang sama denganku. Mereka semua mengangguk dan melihatku secara bersamaan.

Kemudian, Maxon menoleh ke arahku, lalu ia berlutut di hadapanku dan membuka kotak berwarna biru beludru yang ia bawa kemudian aku tanpa sadar sudah meneteskan air mata di kedua pelupuk mataku.

"Tammia McKenzie,"

"Yes?"

"Kau tahu, aku dia buat gila olehmu dan...nyatanya kita memang dua orang gila yang saling jatuh cinta di tempat yang tidak terduga, karena kita sama-sama pasien dokter Melissa," Aku tertawa begitu pula dengan seluruh orang yang ada di ruangan ini.

"Seumur hidupku, aku tidak pernah menyangka akan, jatuh cinta dengan wanita seperti dirimu. Begitu kuat, begitu hebat dan begitu luar biasa. Senyummu yang membuat hidupku suram menjadi bercahaya dan... hufft, apa yang sebetulnya kukatakan? Really, guys—" Maxon menoleh ke arah sahabat-sahabatnya yang sedang terkikik kemudian menoleh ke arah Ibunya dan Ethan.

"Aku sudah menyiapkan puisi yang indah untuk Tammia, tetapi aku sangat payah dalam menghafalkannya but anyway back againto the love of my life in here—" Aku terkekeh atas perlakuannya, kemudian Maxon mengeluarkan cincin dari wadahnya dan ia mengambil tanganku. Tangisku sebetulnya tidak sanggup berhenti.

"Tammia, McKenzie maafkan aku, aku payah dalam hal seperti ini, aku payah dalam membuat puisi romantis tetapi maukah kau menjadi puisi romantis di dalam hidupku Tammia? Dan, menikah denganku?" Aku tersenyum lalu mengangguk dengan cepat dan menangkup wajahnya.

"Yes,Maxon... Aku akan menikah denganmu..." Maxon tertawa lalu aku dapat mendengar semua orang bersorak-sorai dan bertepuk tangan kemudian jari manisku dipakaikan olehnya sebuah cincin manis sederhana dengan batu kecil di tengahnya. Setelah itu Maxon membenamkan bibirnya ke bibirku.

Kurasakan hangat dan lembut bibirnya dan kusambut ciuman Maxon dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Sudah lama sekali aku tidak merasa seperti ini, sudah lama sekali aku tidak sebahagia ini.

Kurasakan tubuhku diangkat olehnya lalu aku melingkarkan kakiku di tubuhnya. Aku dapat mendengar semua orang berteriak 'get a room you two' 'astaga, spaghetti yang kumakan bisa keluar dengan sendirinya'.

Aku terkekeh di bibir Maxon, kemudian Maxon menurunkanku dan melepaskan bibirku. Kami berdua tersenyum dengan sangat lebar kemudian aku dapat merasakan sebuah lengan memelukku dari belakang, ternyata Ayah dan Ibuku. Mereka menangis, tetapi baru kali ini aku melihat mereka berdua menangis bukan mengasihani keadaanku melainkan berbahagia bersamaku. Kemudian Ayahku memeluk Maxon dan menepuk pundaknya lalu semua orang menyelamatiku dan Maxon. Terakhir, Ethan—Ayah Daniel.

Ethan memandangku dengan senyuman di bibirnya kemudian ia memelukku dan berbisik di telingaku.

"Aku ingin kau bahagia bersama Maxon, Tammie... kau berhak berbahagia. Daniel pasti akan bahagia jika kau bahagia..." Aku tak bisa membendung lagi tangisku dan terisak lagi di pelukan Ethan.

Cappuccino [END]Where stories live. Discover now