Ch.17: Rei

739 61 4
                                    


"Anemia?"

Mika, Nadia dan kawan-kawan mengerubungi mejaku pagi itu. Aku mengangguk, memutuskan untuk mengikuti saran Kak Anggra untuk memalsukan penyakit demi kemudahan beralibi.

"Maaf ya, aku pernah nggak bilang sebelumnya. Jadi aku perlu ke UKS tiap istirahat siang buat ngambil obat harianku mulai sekarang."

Mereka mengangguk-angguk, "Yaudah, nggak apa. Lain kali jangan sungkan minta tolong kita kalau ada apa-apa ya?" ucap Mika. Nadia yang duduk di kursi sebelahku menatapku sejenak sebelum tersenyum mengusap pundakku.

"Gitu dong, Ri. Bilang aja ke kita kalau ada apa-apa. Kan?"

Aku mengangguk. Udah. Begitu saja. Untunglah mereka nggak curiga denganku.

"Yaudah, Pak Wayan ngasih kita tugas sejarah tuh. Abis ngerjain baru kita ngobrol lagi, yuk gais?" Ajak Kirana si anak teladan sambil mengangkat buku.

"Iyaa..." Mika mengumam santai.

"Sera..." tegur Kirana sambil menarik komik yang ada ditangan Sera, sementara anaknya berusaha menarik komiknya balik.

"Iya, iya. Bentar lagi selesai..." gerutunya.

"Bentar lagi udah mau uts, Ser. Kamu di rumah juga nggak belajar kalo aku nggak main kerumahmu kan?"

"Bisa nggak usah ngerusuhin orang lain nggak, Ran? " Ucap Sera dingin.

"Sera!"

"Makanya, kubilang bentar lagi!" Sera merebut komiknya dan bangkit dari mejaku tanpa suara. Itu pertama kalinya aku melihatnya meninggikan nada. Kami yang menyimaknya hanya bisa terdiam sementara Kirana menatap punggung Sera tajam.

"Wah, Sera marah beneran tuh? Itu pertama kali aku ngeliat dia emosi gitu." Gumam Mika menatap Sera. "Jangan keras-keras ke Sera lah Kir," Ucap Mika lagi sambil menepuk-nepuk bahu Kirana.

Kirana menghela napas, "Ini juga buat diri dia sendiri, tau." Kemudian ia bangkit dari kursinya tanpa bicara lagi.

Meski berkata begitu, aku yakin Kirana pasti akan menyerahkan pekerjaannya di akhir jam nanti untuk Sera, seperti biasa. Aku tahu dia nggak akan pernah tega membiarkan Sera.
Kadang aku bertanya-tanya kenapa Kirana bisa peduli pada Sera tanpa pamrih seperti itu.

Sementara itu, aku mengeluarkan bukuku sambil melirik Nadia yang masih duduk disebelahku.

"Kerjain tugas, Nadia."

Nadia menyeringai, "Tapi nggak mau pindah. Ngerjain disini aja boleh?"

Aku hampir tersenyum, lalu membalasnya, "Tanya ke Zain, kan dia yang duduk disebelahku," Tunjukku kearah teman kelas kami, Zain yang sedang bermain uno di belakang kelas.

"Yaudah, aku mau sekalian ngambil buku..." Ucapnya ngeloyor pergi. Aku tersenyum-senyum sendiri.

Tak lama, Nadia pun kembali dengan seperangkat alat belajar dan menggeser meja-kursinya dekat denganku. Kami pun sibuk dengan tugas esai kerajaan sriwijaya kami.

Sekitar lima belas menit meja kami sunyi, Nadia tiba-tiba memecah keheningan, "Bosen."

Aku tertawa, "Kalo bosen main uno dibelakang sama yang lain sana." tunjukku pada kerumunan ribut yang sedang asyik bermain sendiri di belakang kelas. Makhluk-makhluk yang masa bodoh dengan tugas.

"Ri, cerita tentang Rirei dong." gumam Nadia sambil menopang kepala dengan tangannya.

"Kenapa memangnya?" tanyaku heran.

"Abis Rirei jarang ngomongin diri sendiri kalo ngobrol." Gumamnya sambil berbaring di mejanya menatapku, membuatku gagal berkonsentrasi ke buku.

"Kalo gitu kita saling tanya deh. Aku pengen tahu tentang kamu juga."

"Yaudah deh. Aku duluan ya..." gumam Nadia. "Makanan minuman favorit?"

"Apaan tuh? Memangnya ini perkenalan anak sd?"

"Memangnya nggak boleh nanya itu?" ucapnya menggembungkan pipi cemberut.

Aku menggeleng, lalu menjawab. "Nasi goreng... sama Matcha Latte."

Aku mencomot apa saja makanan yang ada dipikiranku---karena, yah, makanan favoritku yang asli adalah darah golongan B.

"Waah, nasi goreng memang terbaik, ya. Kalau aku sih sate padang, pizza, geprek... Minuman favorit susu stroberi sama caramel frappuchino," Nadia berpikir. "Oh iya, sama nasi goreng kantin Mbak Wito juga enak." tambahnya.

"Ah, tunggu sampai kamu ngerasain nasi goreng ibuku. Rasanya jauh lebih enak dari nasgor mbak wito." Ucapku lagi.

"Masa?"

"Waktu kecil aku pernah diancam gini, 'Rei kalau masih maksa minta nasi goreng mama, mama sita mainan Rei sebulan', saking senengnya sama nasgor ibuku." Jawabku tersenyum ringan. 

Kecuali, aku bohong. 'Nasgor' dalam ceritaku itu maksudnya darah golongan B. Waktu kubilang aku pernah mogok makan saat SD, sebenarnya saat itu aku nggak mau minum darah kalau golongannya bukan B saking sukanya. Kekanak-kanakan sekali, ya?

"Hoo. Rirei kalo dirumah panggilannya Rei, ya?" tanya Nadia tertarik. Aku mengangguk.

"Rirei... Rirei. Ri... Rei..." Ia bergumam.

"Hm..?" Aku menolehkan pandangan dari tugas dihadapanku.

"Ah, enggak. Aku jadi kepikiran boleh enggak aku manggil kependekan kamu Rei aja? Entah kenapa kedengeran lebih keren daripada 'Ri', hehehe."

"Rei...?" Gumamku, teringat dengan panggilan kecilku itu.

"Aneh ya?"

"Ah, nggak kok. Terserah kamu sih mau manggil apa." Aku mengusap-usap tengkuk, jawaban sol di pikiranku sesaat terlupakan untuk ditulis.

"Sip deh!" ia tertawa pelan.

Aku meliriknya. Dia sedang tersenyum sambil membaca buku di atas mejanya. Kali ini pensil yang ada di genggamanku benar-benar terlupakan. Jarak kami benar-benar dekat untukku memperhatikan detail wajahnya yang halus.

Napasku memendek.

Kepribadiannya yang sempurna seperti malaikat. Dan, orang seperti itu begitu baik padaku.

...Tunggu,

Eh?

Aku buru-buru fokus kembali ke bukuku. Pikiranku barusan cukup membuatku menyadari detak jantungku yang menjadi lebih cepat. Itu barusan, maksudnya, aku menyukai Nadia? Tapi, dia kan perempuan...? Aku menerawang. Buru-buru mengingat-ingat masa kecil hingga smpku yang rasanya tak pernah diisi cinta monyet dalam bentuk apapun.

Masa sih...?

Tapi semakin aku memikirkannya, semakin aku nggak bisa meredam suara jantungku. Semakin aku menyangkalnya, semakin aku memikirkan tentang hal itu.

"Ri?"

Aku tersadar dan menoleh ke arah Nadia, "Eh...?"

"Udah selesai belum? Aku udah nih, ntar kumpul bareng ya."

Aku mengangguk sambil buru-buru menyelesaikan soalku. Tanganku pura-pura mengusap hidung untuk menyembunyikan wajahku yang memanas.

"Udah? Kumpul sekarang yuk mumpung yang ngumpul belum rame."

Setelah berkata begitu, Nadia menarik tanganku ringan. Aku bisa merasakan jantungku lompat satu detakan.

Oh, sial.

Harusnya aku sadar, semakin kau berusaha untuk tidak memikirkan seseorang, semakin sulit untuk mengenyahkan orang itu dari pikiranmu.

*****

Vampiric Love (GxG)Where stories live. Discover now