Ch. 19: Trauma

142 22 0
                                    

Aku melamun malas menatap langit-langit kelas. Pikiranku tidak bisa berhenti melamunkan hal lain sejak aku mengakui perasaanku---yah, walaupun cuma dalam hati---- pada Nadia kemarin.

"Wey, bengong aja lu. Nggak ke kantin?" Mika menepuk jidatku dengan kantong es teh.

"Hmm..." Aku menggumam tak jelas. Mereka baru saja tiba dari kantin, tadi aku menolak ikut. 

"Reei! Aku bawain es teh buat kamu nih."

Nadia tiba-tiba masuk kelas sambil membawa dua bungkus es teh. Dengan santainya dia membelikanku es teh tanpa kuminta. Aku segera melempar pandanganku dengan awkward. Begini, ya, rasanya saat menyadari kamu suka seseorang?

Aku jadi mengawang-awang. Perkara ini sudah sulit karena aku menyukai temanku sendiri, yang juga perempuan. Hebat sekali, kisah cinta pertamaku di SMA akan berakhir kandas dengan menyedihkan karena berapa persen, sih, probabilitas Nadia suka perempuan juga?

"Heh," Itu suara Mika.

Aku menoleh. Mika duduk di bangku sebelahku, menyodorkan Pocky. "Kenapa tadi kamu enggak ke kantin?" 

Aku tertawa. "Nggak boleh ya istirahat tinggal di kantin? 

"Habis kamu aneh sih. Kenapa sih dari tadi pagi, bengong mulu?" Mika menusukkan tangannya seperti ingin menyerangku dengan pocky. "Fisikamu remedial? Atau jangan-jangan mulai ketularan anehnya Sera?"

Belum juga aku menjawab, seorang murid di belakangku berseru keras ke seisi kelas.

"Coy, ada berita pembunuhan di deket sekolah kita!" Ucap anak itu, menarik perhatian banyak murid.

"Hah, serius lo!?" Mika menyahut kaget.

Seisi kelas menengok, beberapa mendekat riuh, rupanya salah satu anak menemukan berita di Twitter. Seperti biasa hal itu akan jadi bahan obrolan kelas. Aku ikut menengok ke sumber suara.

"Ga bercanda gua, liat nih ada live."

Suara seorang penyiar berita bergaung di dalam kelas. Ada yang membunyikan volume HP-nya ke mode loudspeaker.

"Kembali lagi bersama kami di liputan petang. Muncul kasus tragis di daerah Z... sebuah pembunuhan dengan pelaku terduga vampir terjadi di sebuah perumahan...."

Mataku melirik pelan ke arah kerumunan di tengah kelas. Mau tak mau, kami semua mendengarkan berita itu dengan seksama.

"Pembunuhan yang terjadi di perumahan ZY senin lalu diduga terkait dengan aktivitas kelompok vampir ilegal baru-baru ini. Korban ditemukan mati kehabisan darah dengan luka gigitan di leher..."

"Anjir, serius itu?"

"Eh? Perumahan itu kan ga jauh dari sini kan ya?" Anak kelas bergumam. Tentu saja, berita seperti ini akan menarik perhatian semua orang.

"Vampir lagi..." Mika menyebut datar kata itu tanpa mendongak.

"Akhir-akhir ini kriminalitas yang dilakuin oleh kaum vampir meningkat drastis, tahu nggak? Vampir ilegal itu... vampir yang masih ngebunuhin orang buat darahnya itu kan?" 

"Yup. Vampir ilegal itu kriminal yang enggak tercatat identitasnya, beda sama vampir legal." Jawabku pelan, masih fokus mendengarkan berita.

"Ngeri, ih, kalo sampe ketemu orang tapi aslinya vampir," Mika menggumam. "Papahku punya kolega vampir legal di kantor, katanya koleganya selalu minum darah tiap istirahat."

Aku menunduk diam.

"Walaupun ngakunya vampir legal, vampir halal, atau apalah itu, tetep aja mereka predator manusia. Ya kan, Ri?" Mika mencari persetujuanku. Ia terus menyimak berita itu dengan seksama.

"Iya. Serem banget..." Aku hanya menggumam. Mataku menatap jendela ke luar kelas, ingin percakapan ini segera berakhir. Sementara itu kerumunan yang memutar berita tadi sudah heboh lagi.

"Gaes liat deh. Ada yang nyebar video rekaman pembunuhnya di Twitter!"

Suara seorang laki-laki menggema di ruangan.  Rendah, terdistorsi, mengerikan.

"Bagi kalian manusia, ini adalah pesan untuk kalian... Kami mencari keadilan untuk kaum kami."

Aku mengernyit. Video buram berisi pria bertopeng hitam muncul di layar youtube. Itu adalah salah satu rekaman video teror yang disebarkan oleh organisasi vampir.

"Pembunuhan ini adalah peringatan bagi kalian. Kami akan memburu kalian satu persatu."

Diantara kelebat pikiran itu, mataku tak sengaja menangkap siluet Nadia yang tak jauh dariku. Lalu, aku terkesiap.

"Nadia? Kamu kenapa?" Ucapku.

Nadia menutup telinganya, kedua tangannya gemetar. Wajahnya yang pucat dengan ekspresi yang tak bisa kudeskripsikan. Aku mengguncang bahunya pelan.

"...Nyawa ganti nyawa... Untuk balasan atas jutaan vampir yang telah kalian bunuh..."

"Eh, Nad, kamu gak apa?" Mika tersadar dan ikut mendekatiku dan Nadia.

Teroris vampir bertopeng di video itu masih terus berbicara. Terus menyebarkan ketakutan. "

...Selanjutnya kami akan terus mencari korban. Besok, kami akan membunuh 3 orang lagi--"

"Mika... Matiin videonya... Plis..." Suara Nadia bergetar pelan.

Aku dengan segera menebak apa yang terjadi.

"Oi, Ziq! Matiin itu video sekarang!" aku membentak siswa yang masih asik memutar video itu. Segera bunyi video mengerikan itu mengecil dan anak-anak sedikit teralihkan perhatiannya oleh kami.

"Ri, Nadia kenapa...?" Mika menyentuh dahi Nadia. Ia berkeringat dingin. Namun Nadia menggeleng pelan. Napasnya pendek, seolah baru disuruh berlari ratusan meter.

"Post-traumatic Stress Disorder?" Sera, si jenius itu, menggumam pelan setelah sejenak menatap Nadia lamat-lamat. Aku menatap Sera dengan bingung. Sera berjalan mendekati kami berdua dengan tatapan serius.

"PTSD. Istilah awamnya, trauma. Ditandai sama ingatan peristiwa buruk, dan seringnya... serangan panik." Ucap Sera seraya mengedikkan bahunya ke Nadia.

"Trauma...?" Mika mengusap-usap pelan punggung Nadia, menoleh kearah Sera. Aku mengernyit.

Trauma? Oleh apa? Vampir?

Mika menunduk, "Jangan-jangan kamu punya trauma sama vampir?"

Nadia tetap bisu seribu bahasa. Lalu, tak lama, ia mengangguk pelan. Kami nggak pernah menyangka pada diri Nadia yang biasanya ceria, rupanya tersembunyi sisi seperti ini.

Trauma terhadap vampir? Betapa kebetulan yang tidak lucu.

Rasanya seperti semesta berkomplot membuatku makin dibenci Nadia.

Vampiric Love (GxG)Where stories live. Discover now