BAB 2 (PETUAH SEBUAH LUBANG)

639 44 4
                                    

Senja merekah dengan nuansa jingga yang sangat indah sore itu tidak membuyarkan sama sekali pemikiran Kang Rasyid dari hiruk pikuk lamunanya. Fikiranya melayang jauh pada sosok sepuh yang berwibawa nan alim.

Namun, sosok itu tak lepas dari ungkapan misterius bagi figur yang sudah dicap sebagai kyai yang alim dan masyhur.

Hanya Kyai Harun lah yang di stempel kyai berkategori nyeleneh dengan segala sudut pandang kerahasiaan misterinya. Namun anehnya banyak masyarakat yang sungkan bahkan hormat pada sisi aneh atas segala dimensi kerahasiaan kyai sepuh satu ini.

Seperti halnya kejadian tadi subuh yang sempat menggemparkan masyarakat sekitar. Dengan tanpa rasa bersalah sekalipun Kyai Harun menggali lubang yang lumayan dalam ditengah-tengah jalan setapak, akses satu-satunya bagi warga menuju kebun dan alternatif ke desa seberang. Banyak masyarakat yang menegur beliau dengan sopan.

Namun kyai harun saat itu marah besar dan melarang warga sementara pergi berkebun atau melewati jalan setapak tersebut.

“Kalau urusanya sudah dengan kyai, ya kita mau apalagi!!”.

Bisik salah seorang warga pada kang Rasyid, yang dengan terpaksa diam saat Kyai kembali sibuk dengan cangkul ditanganya. Sementara itu kang Rasyid hanya menaikan kedua alisnya dengan pasrah.

“Entahlah pak. Kita turuti saja apa kemauan Kyai. Baiknya kita khusnudzon saja”.

****

Kegelisahan Kang Rasyid kala itu bermula saat dirinya bersama sang istri, Bi Salmah hendak pergi ke kebun setelah subuh. Suasana fajar yang masih pekat dengan nuansa gelap dan dingin yang menusuk hingga sum-sum tulang terdalam membuat sebagian orang masih melanjutkan tidurnya. Kecuali bagi bapak-bapak yang memang berprofesi sebagai petani memang sudah biasa pergi ke ladang saat masih pagi buta. Tak terkecuali pula bagi Kang Rasyid dan Bi Salmah.

“Ayo lekas berangkat, bu. Sudah jam lima”. Ujar kang rasyid yang masih memegangi cangkir kopinya.

“Iya sebentar. Sabar to, pak”. Dengan sedikit tergesa Bi Salmah menenteng caping yang sudah mulai lusuh disetiap pinggiranya.

Kampung yang dikelilingi banyak pepohonan besar dan rindang itu membuat suasana menjadi asri nan segar. Dingin yang menyergap tulang menjadikan Bi Salmah semakin mengeratkan selendang batik yang melingkar di sekitaran pundaknya.

Dari rumah hingga jalanan besar masih seperti biasa. Nuansa sepi dengan penerangan jalan yang sedikit mulai meremang. Namun begitu sampai ditengah jalanan setapak mereka berdua dikagetkan dengan seseorang yang entah siapa sedang mencangkuli dan melubangi jalan setapak dipagi buta seperti ini.

“ Pak, siapa itu. Kok menggali lubang ditengah jalan. Ibu jadi takut pak “ kata Bi Salmah yang kini mulai merapatkan tubuhnya dengan sang suami.

Kang Rasyid hanya mengelus pundak sang istri. Berusaha untuk menenangkan agar tidak takut pada apa yang ada didepan mereka saat ini. Dengan langkah pelan Kang Rasyid mendekati seseorang yang sedang menggali lubang didepan mereka.

“ Maaf, pak. se- “

“ Jangan mendekat!”

Belum sempat melanjutkan ucapanya kang rasyid lebih dulu digertak orang tersebut dengan nada yang tinggi. Namun betapa terkejut dirinya saat mendengar suara jawaban dari orang itu. Suara yang sangat familiar baginya dan masyarakat ditempatnya. Suara yang selalu mengalun syahdu dalam setiap bait doa sehabis solat fardhu.

Lebih terkejut lagi kang rasyid saat pak tua itu membuka caping atau topi khas para petani desa.

Nampaklah wajah yang penuh wibawa dibawah sorot cahaya purnama yang masih memncarkan pesona sinarnya.

KYAI GURU HARUNWhere stories live. Discover now