BAB 3 (MENANGIS DAN TERTAWA DIRUANG KERINDUAN 1)

477 46 1
                                    

Diantara celah-celah reranting, sebuah sinar hangat menyorot tubuh senja yang sedang duduk diatas kursi kayu yang panjang. Tangan sepuhnya sedang membolak-balikan lembaran demi lembaran sebuah kitab.

Pagi yang cerah itu serasa ikut membawa kecerahan pada relung hati yang dalam. Seolah akan ada satu hari yang sangat berharga. Hari yang membawanya pada sebuah kegembiraan.

Bahkan sejak usai subuh-pun, bibir yang bijaksana itu selalu menyunggingkan seutas senyum kebahagiaan. Senyum yang tak bisaa ditafsirkan arti bahagianya saat itu. Senyum yang selalu terasa teduh bagi siapapun yang melihatnya.

Masih dalam senyumanya, Kyai Harun mengambil sebuah benda kecil dari sakunya. Sebuah pena yang menemani hari-hari dengan goresan titik-titik ilmu. Segeralah sang Kyai mengambil sebuah kertas yang kosong. Beliau tulis sebuah bait-bait dengan senyuman.
Entah bagaimana, apakah bait itu yang menggambarkan senyum-nya yang tersungging teduh. Atau senyum yang menjadikan bait itu ada dalam ucapan sajak-sajak beliau.
Bagaimana aku tidak tersenyum.
Sedangkan alasan senyumKu akan menghampiriKu.

Bagaimana aku tidak bahagia.
Sedangkan jawaban bahagiaKu telah kugapai.

Bagaimana lagi aku harus mengungkapkan.
Sedangkan tangis dan tawaku cukup mewakilinya.

Tidak bisakah aku selalu bersamanya?
Sedangkan hari-hari yang kulalui selalu menyebut nama dalam tarik nafasku.
Disaat tawaku yang bersuara.
Disitulah letak bahagia atas jumpaku pada Nya.

Disaat tangisku yang berkata.
Disitulah ucap rinduku atas jumpaku pada Nya

Lalu dengan alasan apa lagi,
Saat bibir rinduku tersenyum.

Sesampai aku menari bahagia atas kehadiranMu.
Meski diatas tanah yang gersang menusuk kaki umpama.

Aku akan tetap merinduMu.
Aku akan tetap mengucapMu
Dalam bahagia dan tangis rinduku.
Aku akan tetap dan selamanya tetap.
Tak akan hilang sampai jiwa ini kuhaturkan pada pemilikNya.

Begitulah kiranya bunyi syair yang ditulis Kyai Harun atas perwakilan dalam bentuk rasa nya. Rasa yang sulit digambarkan. Rasa yang samar. Dan rasa yang akan membawanya pada tangis dan tawa kerinduan.
Selembar kertas yang penuh dengan goresan sajak beliau kemudian diselpkan diantara lembaran-lembaran dari kitab yang berwarna kuning tebal itu. Setelahnya, Kyai Harun memandangi sejenak sampul kitab yang didalamnya terdapat goresan sajaknya yang baru saja ia tulis dengan senyuman.
Kyai Harun beranjak dari tempat duduknya. Ia bawa kitab itu menuju salah satu dari dua rak yang berisikan tumpukan kitab-kitab pribadi beliau di raung tamu. Kitab itu ia letakkan di sisi kanan atas paling pojok.
“Dalem, Kyai. “
Hisyam tiba-tiba muncul yang membuat Kyai Harun membalikan badan. Ia lihat sang murid andalanya tengah berdiri sembari menunduk.
“Apa sudah selesai semua persiapanya?”.
“Insyaallah sudah, Kyai”
“Baiklah, terimakasih sudah membantu sejak kemarin, Syam”.
Beliau tersenyum “Istirahatlah sejenak, nak. Aku tahu kamu pasti sangat lelah”. Lanjut Kyai.
“Terimakasih Kyai.”
Kyai Harun hanya menganggukan kepala seraya tersenyum. Setelah Hisyam keluar, Kyai Harun melanjutkan kembali fokusnya pada kitab-kitab yang berjajar rapi didalam rak buku nya yang paling besar diantara dua rak buku yang ada diruang tamu.
Hari ini Kyai Harun akan mengadakan acara Maulid yang diselenggarakan oleh beliau sendiri. Tidak hanya dari kalangan santri dan para ustadz. Seluruh tetangga pondok-pun beliau undang semuanya tanpa terkecuali.
“Jangan lupa hadir nanti malam, mbah”.
“Insyaallah saya sempatkan, Kyai. Apalagi ini acara maulid kanjeng nabi”. Jawab Mbah Manar.
Ketika Mbah Manar menyebut nama Kanjeng Nabi, sontak ada yang berubah pada raut wajah Kyai Harun. Mbah Manar melihat kyai ‘alim didepanya ini berkaca-kaca. Namun didetik berikutnya, Kyai Harun tertawa. Ini yang membuat Mbah Manar merasa aneh. Tapi, rasa aneh pada diri Mbah Manar tidak beliau utarakan langsung pada Kyai Harun.
Satu persatu tetangga pondok beliau undang langsung tepat dirumah mereka masing-masing tanpa terkecuali. Inilah yang membuat masyarakat sungkan pada beliau. Selain ‘alim, berwibawa dan terkadang sering menampakan sikap nyeleneh-nya. Namun tidak mengurangi rasa hormat mereka pada sosok Kyai Harun.
“Wah, harum sekali…”. Ucap fathir mengamati aula yang telah disulap menjadi megah bernuansa putih dan kuning keemasan.
“Dari pada anteng-anteng saja dari tadi. Mending bantuin beresin sudut podium”. Ucap Hisyam yang diangguki oleh Zidan. Namun, Fathir masih saja tidak bergeming.
“Apa aku harus sowan Kyai, untuk menyuruhmu membantu pekerjaan yang belum usai??”.
Kini Zidan yang berucap. Ia sedikit menekan kata “Kyai” pada ucapanya barusan. Barulah Zidan sedikit terperanjat dari kekagumanya atas apa yang sedang ia lihat.
Seluruh santri, pengurus dan sebagian besar tetangga pondok sibuk dengan tugasnya masing-masing. Dari jalan menuju kampung, gapura hingga aula utama penuh dengan kesibukan-kesibukan.
Ada yang menata dekorasi, sekedar menyapu, memasang umbul-umbul dan kesibukan lain. Tak ada satu-pun saat itu yang terlihat santai. Semuanya berjibaku pada tugas mereka masing-masing.
Allahu Akbar Allahu Akbar….
Allahu Akbar Allahu Akbar….
Suara azan yang nyaring Mbah Manar, muadzin surau tua samping pesantren Kyai Harun. Meski usianya menginjak delapan puluh tahun-an namun suaranya masih terasa sama. Masih semerdu saat beliau muda dulu. Meskipun kini suaranya tidak bisa sepanjang seperti dulu-dulu.
“Sudah, istirahat… istirahat”. Hisyam menggiring beberapa santri lainya yang masih sibuk dengan tugas mereka sendiri
“Semuanya, mandi dan sholat dzuhur jama’ah dahulu. Nanti kita lanjutkan lagi”.
Berbondong-bondonglah seluruh santri dan pengurus lainya pergi ke kamar mandi. Sedangkan para tetangga pondok sebagian ada yang pulang kerumah masing-masing. Ada pula yang masih ditempat, mungkin untuk sekedar rehat.
“Makan siangnya nanti seusai sholat dzuhur”. Titah Hisyam pada pengurus bagian konsumsi dan dapur.
Surau tua yang cukup luas itu penuh dengan ke khidmatan. Hening menyelinap dan sayup-sayup segar terasa ketika pepohonan rindnag sekitar surau itu saling bergerak menghembuskan satu kesegaran yang tersendiri.
Assalamu’alaikum warahmatullah….
Assalamu’alaikum warahmatullah….
Sholat jama’ah dzuhur yang dipimpin sekaligus di imami langsung oleh Kyai Harun telah usai. Dzikir seusai sholat terdengar bergemuruh. Kekhusyukan ternyata masih berlanjut.
Barulah sekitar lima belas menit berlalu semuanya kembali ke pondok. Suguhan untuk makan siang sudah tertata dengan rapi. Ada nasi yang terhidang berikut lauk pauk yang tertata juga. Ikan, sambal, sayur terlebih telur utuh yang terhidang. Sedangkan di meja paling ujung nampak gallon air putih, teko yang berisi kopi dan teh yang mulai sedikit dingin.
“Cukup apa tidak ya mbah?. Masa, orang segini banyaknya, nasi kok cuman dua bakul saja”.
Salah seorang tetangga pondok berbisik ditelinga Mbah Manar. Sedangkan Mbah Manar yang dibisiki-pun tak memperdulikanya.
“Sudah diam saja. Tinggal makan. Kamu kesini niatnya ingin bantu dengan ikhlas apa cuman ingin suguhanya saja ta!?”. Salah satu tetangga tadi terdiam mendengar jawaban Mbah Manar.
Jika dipikir ada benarnya juga. Nasi yang hanya tersedia dua bakul itu apakah cukup untuk memenuhi perut yang diperkirakan ada ratusan orang itu?. Hal ini pula yang dijanggalkan oleh hisyam sendiri. Namun, karena ini titah sang kyai, ia tidak bisa membantah.
Centong nasi yang terbuat dari kayu itu bergantian masuk kedalam bakul-bakul yang berisi nasi. Dari centongan yang pertama hingga ke duabelas-pun masih lumrah dan biasa-biasa saja. Tapi pada saat giliran kelompok kamar Fathir yang notabenenya ada sepuluh orang, mulai timbul keanehan.
Bayangkan saja. Bakul ukuran sedang itu seolah-olah selalu penuh volume nasinya meski sudah hampir perpuluh-puluh kali diambil dengan centong kayu itu. Bahkan ada yang sekali ambil dua hingga tiga centong nasi.
Dengan kata lain, bakul itu selalu penuh  tanpa habis nasinya. Begitupun dengan lauk pauk, sayur dan berbagai minuman yang disediakan. Hal ini hanya diamati oleh Mbah Manar, Hisyam dan salah seorang tetangga pondok tadi. Saking heranya mereka bertiga, sampai sebagian nasi yang masih ada dipiring mereka bertiga-pun tak kunjung habis.
“Loh, malah melongo. Kalau makan itu yang sat set gitu lho”. Pak Wildan terkekeh pada mereka bertiga.
“Loh, bukanya tidak sat set. Tapi kami ini terlalu menikmati hidangan. Tidak kaya sampean, makan saja seperti kerbau kesurupan”. Tawa pun pecah dari mereka berempat.
Tanpa mereka sadari sosok penuh wibawa yang kini ikut serta terjun kerja bhakti bersama. Tangan kanan Kyai Harun menggenggam  cangkul. Sarung kotak-kotak dan kaos oblong puyih lengkap dengan kopyah putih yang senada serasa tanpa mengurangi kewibawaan sosok alim satu ini.
“Loh, Monggo nambah lagi ta. Tidak usah sungkan-sungkan, mbah”. Kyai Harun menunjuk hidangan diatas meja dengan ibu jari beliau mempersilakan Mbah Manar dan tiga orang lainya.
Sedangkan salah seorang tetangga pondok yang heboh itu, kini tersenyum kikuk. “Injih, Kyai. Ini saja belum habis”. Ucap Mbah Manar meperlihatkan piring ditanganya dengan senyuman hangat.
Kerja bhakti yang dibantu oleh warga kampung kini sudah usai. Semua perlengkapan dan kesiapan sudah tertata dengan rapi. Sebagian lain masih sibuk dengan chek sound guna memastikan mic dan semacamnya dalam kondisi siap.

KYAI GURU HARUNWhere stories live. Discover now