BAB 3 (MENANGIS DAN TERTAWA DIRUANG KERINDUAN 2)

421 47 10
                                    

*****

Malam yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Berbondong-bondonglah santri menuju aula utama yang luas itu. Tak terkecuali seluruh warga kampung dan tetangga pondok ikut memenuhi aula.
Ada yang memilih didalam aula. Dan tidak sedikit pula yang memilih diluar aula, dibawah tenda pelataran pesantren.

Nuansa yang penuh dengan warna putih itu mendominasi sehingga menjadikan keadaan ikut larut dalam kekhusyukan.

Seseorang penuh wibawa dengan jubah putih ditunjang dengan sebuah sorban yang melingkar dikepala. Atau menurut tradisi ulama itu disebut semacam Imamah. Senyum yang meneduhkan yang dibalas dengan senyuman para jamaah.

Kyai Harun memasuki area utama acara. Senyum yang menghiasi bibir tak henti-hentinya beliau lakukan. Seolah senyuman malam itu mematri pada bibir sang guru mulia.

Acara berjalan sangat khidmat. Penuh kekhusyukan dan tak jarang banyak yang berurai mata. Karena saking dalamnya mereka menghayati dan terlarut dalam cinta pada Kanjeng Nabi.

Tepat pada saat lantunan syair yang mengisahkan perjalanan Nabi, tiba-tiba Kyai Harun menjerit dengan keras sambil mengucap asma agung Rosulullah. Namun sedetik kemudian beliau tersenyum dan tertawa.
Belum sampai satu jam dari peristiwa itu, beliau melakukanya kembali. Bahkan kali ini Kyai Harun sampai menangis keras. Dan setelahnya beliau tersenyum dan tertawa.

Bagi seluruh santri dan msyarakat menjadi heran dengan kelakuan Kyai Sepuh itu. Namun beda hal lagi dengan para Masyayikh dan ulama lainya yang menghadiri aca tersebut. Mereka nampak biasa saja. Bahkan terkadang mereka ikut menangis bersama dengan tangis Kyai Harun.

Sebagian tenda kini sudah dirapikan. Kabel-kabel yang terpasang kini beberapa sudah mulai lepas dari colokan sound yang berukuran besar.

Ya, acara ini sudah selesai hampir dua jam lalu. Tamu undangan dari kalangan ulama pun semuanya sudah pamit. Begitu pula dengan warga dan sebagian tetangga pondok.

Jam dinding aula yang berukuran besar menunjukan pukul 01:30 WIB. Namun masih menyisakan Mbah Manar dan Hisyam yang masih rokok-an di pojok aula sambil mengamati petugas sound system memberesi alat-alat mereka.

“Aku masih penasaran dengan Kyai-mu”. Ucap Mbah Manar sambil mengepulkan asap rokok ditanganya.

“Kalau saya apa lagi mbah!. Terkadang saya juga heran dengan apa yang Kyai lakukan”.

“Husnudzon saja”. Timpal Mbah Manar.

Tiba-tiba sebuah ucapan salam menggema ditelinga mereka berdua. Baik Hisyam dan Mbah Manar tersentak. Kyai Harun datang dengan bungkusan rokok yang tinggal beberapa ditangan beliau.

Tiba-tiba saja Kyai bertanya pada Hisyam “Syam. Jika seseorang sudah sangat rindu dengan orang yang dirindukan, bagaimana rasanya?”
Dengan sedikit menunduk Hisyam menjawab “Pastinya sangat bahagia sekali Kyai”.

“Jika yang kita rindukan itu termasuk yang dirindukan banyak orang. Dan yang kita rindukan itu mendatangi kita dengan khusus bagaimana rasanya ?”.

“Jika itu, pastilah teramat bahagia sekali Kyai”. Jawab Hisyam yang masih sedikit menunduk.

“Itulah yang aku rasakan”.

“Bagaimana jika aku merindukan  Kanjeng Nabi yang tak lain dirindukan banyak orang. Ternyata mendatangiku. Apakah itu bukan termasuk kebahagiaan yang tinggi?”. Lanjut Kyai Harun yang kini membuat Mbah Manar dan Hisyam menatap wajah Kyai dengan cepat.

“Apakah tidak boleh aku menagis bahagia bila ditemui oleh sang kekasih?. Apakah tidak boleh aku tertawa dan tersenyum gembira bila ditemui oleh sang kekasih?”.

Baik Hisyam dan Mbah Manar kini tertegun dengan jawaban yang menjadi jawaban atas rasa penasaran mereka semalaman ini.

Hati mereka berdua seperti tercubiti. Mendengar bahwa beliau memandang dan melihat wajah Kanjeng Nabi membuat mereka berdua terenyuh iri.

Hingga perbincangan hampir satu jam yang membuat Mbah Manar pamit pulang. Menyisakan dua orang guru dan murid. Sampai ketika Kyai Harun bangkit dari duduknya hendak kembali istirahat.

Sebuah ucapan hikmah menuntun pemikiran Hisyam.

“Janganlah tahan sebuah rasa-mu bila berjumpa pada kekasih. Tanda kerinduan adalah dua. Entah itu tangis ataupun tawa. Luapkanlah sehingga perjumpaan dalam kerinduan itu lebih bermakna”

Ucapan dari sang guru itu akan terus terngiang-ngiang dibenak dan pikiran Hisyam.

KYAI GURU HARUNWhere stories live. Discover now