BAB 6 (KARENA TUHAN MASIH MELIHAT bag2)

311 22 8
                                    

*****

Sesampainya dirumah Kyai Harun, sang musafir dipersilakan masuk. Nuansa tentram adalah pertama kali yang ia rasakan saat memasuki rumah Kyai Harun. Ruang tamu yang nyaman hanya ada sepasang kipas angin. Dua buah rak kitab berukuran sedang dan besar menambah suasana kenyamanan hati musafir saat itu.

Namun lagi-lagi ia tepis perasaan kagumnya sebelum mengetahui letak kebenaran sekaligus pembenar atas jawaban dari masalah yang menyelimuti hatinya.

“Silakan pak, seadanya”.

Dengan senyuman Kyai Harun menawarkan suguhan yang telah terhidang diatas meja. Tepat didepan si musafir.

“Repot-repot, Kyai”. Jawabnya basa-basi.

“Ah, tidak. Jangan begitu pak. Monggo”.

Kyai Harun mendorong piring berisi kue basah. Berikutnya buah-buahan seperti jeruk, salak dan semacamnya. Sekaligus secangkir kopi panas yang telah terhidang.

Didetik selanjutnya Kyai Harun mengeluarkan rokok cerutu kebanggan sekaligus rokok andalanya.

“Sampean suka rokok tidak pak?”

Deg.

Kata Kyai Harun yang sukses membuat jantungnya berdetak. Lagi-lagi ia tepis keraguanya. “Ah, mungkin hanya basa-basi”. Batin musafir yang mengira tawaran rokok adalah hal yang lumrah dilakukan seorang tuan rumah kepada tamunya.

Sang musafir hanya mengangguk. Namun mulai detik ini hati dan pikirnya mulai kacau.

“Sebentar saya ambilkan yang baru. Ini sudah sisa saya”. Dengan kekehan kecil sambil menunjukan bungkus rokok yang hanya tersisa satu batang saja.

Perlahan Kyai Harun berjalan menuju rak buku yang berukuran sedang. Nampak dibagian bawah rak itu terdapat tiga laci berukuran kecil yang saling berjajar. Tepat laci yang berada di sudut paling kiri dibukanya.

“Monggo, pak. Dipilih sendiri barangkali ada salah satu yang jadi andalanya”.

“Allahu Akbar………”.

Bagai disambar petir saking kagetnya, cangkir yang akan ia pegang jatuh dan hampir saja tumpah. Bagaimana bisa Kyai yang didepanya ini tahu apa yang ia ucap dalam batin tadi sore. Tepat lima bungkus rokok yang masih dalam keadaan segel dari berbagai jenis rokok.

Ia lihat dengan jelas mulai rokok cerutu, rokok tanpa gabus, rokok mentol dan dua jenis lainya lagi.

“Ayo silakan pak jika ada yang cocok”.

Suara Kyai Harun seolah menyayat hatinya. Kini sang musafir bagai orang linglung dengan terdiam sambil pandangan yang hanya lurus melihat lima bungkus rokok yang berbeda jenis itu.

“Loh kok Cuma dilihat saja to, pak. Monggo silakan jika sampean ada yang cocok”.

Kini dirinya baru tersadar dari lamunan dalamnya. Apa lagi kini yang harus ia perbuat untuk meyakinkan dirinya kembali. Dengan gemetar ia ambil salah satu rokok yang tergeletk diatas meja didepanya.

“Aku harus cari bukti pembenar sekali lagi. Mungkin ini masih kebetulan saja” ucapnya dalam batin yang menggebu-gebu.

Kali ini sikap dari musafir tadi mulai menampakan niat asalnya. Pandangan mata yang sedari awal tadi bersikap pada kepura-puraan. Kini menjadi pandangan yang meremehkan. Dan sekali lagi, gelagat itu ditangkap langsung oleh Kyai Harun.

Sementara sang musafir pun juga sudah merasakan jika Kyai Harun mulai mengetahuinya.
Kali ini ia ingin menguji kecerdasan Kyai Harun dengan caranya sendiri. Nada bicaranya-pun kini sudah mulai meremehkan sekaligus tidak ada adab sama sekali.

KYAI GURU HARUNWhere stories live. Discover now