BAB 4 (ANTARA MIMPI KEPADA LINGLUNG 1)

444 43 8
                                    

"Coba kamu lihat dulu apakah Kyai sudah istirahat atau belum. Sekalian bawa susu ini ke kamar Kyai”. Perintah Hisyam kepada Fathir, sesama abdi dalem Kyai Harun.

“Jika nanti ternyata Kyai  belum rehat ?” Tanya Fathir sembari menaikan kedua alisnya.

“Tawarkan dan tanyakan jika Kyai butuh sesuatu”.

Sudah beberapa hari ini Kyai Harun terbaring diatas ranjang. Asam lambung yang ia derita kini kembali kumat. Alhasil dirinya kini mau tidak mau harus terbaring lemah.

Tubuh yang sudah tidak muda lagi menuntut banyak penyakit yang harus hinggap dalam dirinya. Tak terkecuali asam lambung yang seolah menjadi penyakit rutinitas. Yang akhir-akhir ini sering mendera tubuh senja dari seorang yang berwibawa itu.

Pelan-pelan Fathir membuka pintu dengan mengucap salam yang lumayan lirih. Kedua tanganya telah penuh dengan berbagai makanan dan susu. Tepat diatas nampan bermotif bunga yang ia jadikan alasnya.

“Assalamu’alaikum…”

“Assalamu’alaikum…”. Sejenak Fathir menarik nafas dalam-dalam.

“Assalamu’alaikum…”. Masih dengan suara lirih.

Awalnya ia topang nampan itu dengan lutut kananya agar ia bisa meraih kenop pintu. Lamat-lamat ia buka dengan hati-hati. Takut jika nantinya membangunkan sang kyai jika seandainya sang guru telah rehat.

Dari balik pintu dilihatnya jika sang kyai masih memejamkan matanya. Itu berarti beliau masih istirahat.
Dengan hati-hati diletakanya nampan tersebut. Fathir mengeluarkan beberapa jenis makanan dan segelas susu putih. Kemudian Fathir menaruhnya dimeja dekat dengan ranjang yang ditiduri Kyai Harun.

Setelah semuanya tersusun dirinya hendak bangkit sambil menunduk. Disinilah letak adab dan akhlak dari seorang santri yang mendahulukan adab dari pada ilmu. Meskipun sang Kyai tertidur dirinya masih tetap tawadhu terhadap guru.

Setelah makanan dan minuman diletakkan diatas meja maka bergegaslah Fathir bangkit. Namun saat tubuhnya akan berbalik sebuah suara menginterupsi indera pendengaranya. Satu kata yang terdengar lirih.

“Kang….”

Fathir sedikit terkejut. Namun dengan segera ia membalikan badan lagi. Terlebih kini sang guru dalam keadaan sakit. Mungkin ada suatu hal yang ingin dipinta.

“Iya Kyai. Apa Kyai butuh sesuatu, biar saya ambilkan “. Ucap Fathir duduk bersimpuh dibawah ranjang tua yang terlihat sudah keropos di pinggiranya sebab termakan usia.

“Tidak ada. Sudah jam berapa ini Kang?”.

“Masih pukul sembilan Kyai”. Jawab Fathir yang masih menunduk.

Sesekali ia pandang wajah gurunya.

“Ada yang ingin kutanyakan padamu. Apakah Haji Karim sudah berangkat umroh?”. Tanya Kyai Harun yang mulai serius.

“Sudah beberapa hari lalu Kyai”

“Alhamdulillah jika begitu”. Hanya itu respon Kyai harun.

Fathir mengira gurunya ingin memakan sesuatu. Atau paling tidak minta dibantu untuk sekedar duduk. Namun justru menyakan perihal Haji Karim, karibnya yang sedang menunaikan umroh beberapa hari yang lalu.

Dimenit berikutnya ketika suasana hening menghinggap. Kyai harun menginterupsi sang murid kembali. Dengan suara yang masih sedikit lemas kyai harun kembali berucap lirih.

“Tolong panggilkan Hisyam kemari”. Perintah sang guru.

Dilain tempat, tepatnya di asrama pondok lokal barat barulah Fathir menemukan Hisyam. Dirinya melihat kawanya sedang menyisir keamanan pesantren dari satu asrama ke asrama lainya. Dengan sedikit terburu-buru Fathir menghampiri Hisyam.

KYAI GURU HARUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang