Titik Terang

23.9K 1.2K 13
                                    

"Ardan...," Alvaro memanggil putra sulungnya dengan pelan.

Apa yang dilihatnya saat ini terlalu mengejutkannya. Bukan hanya Alvaro, melainkan semua orang di kamar itu termasuk Maura sendiri terkejut melihat apa yang Ardan lakukan saat ini.

Ardan berlutut di sebelah ranjang Maura. Dia berlutut dan menunduk dalam.

"Kamu boleh marah sama aku, kamu boleh meneriaki atau pun memukul aku. Tapi, please...," ujar Ardan dengan suara serak dan tercekat miliknya.

Semua orang disana cukup kaget mendengar suara Ardan yang sudah hampir menangis itu.

"Please, jangan bilang kita selesai! Aku nggak mau kita selesai, Maura! Tolong jangan bilang kita selesai!"

"Maaf, pak Deo. Kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi," ujar Maura.

Ardan mengepalkan tangannya dengan erat. Sangat erat sampai buku jarinya memutih. Ardan mencoba mencari tahu apa kesalahan bodohnya sampai Maura menginginkan hubungan mereka selesai. Otak Ardan terus memutar memori tiga hari lalu saat mereka ada di butik milik Amanda.

"Amanda...," Ardan memanggil nama itu saat dia menyadari kesalahannya.

"Amanda!" Ardan mengangkat kepalanya menatap Maura.

Maura sedikit terkejut saat Ardan menyebut nama Amanda tiba-tiba. Akan tetapi, dia lebih terkejut lagi saat melihat mata Ardan memerah dengan airmata yang sudah siap jatuh di sudut matanya.

"Semua ini karena Amanda, kan? Iya, kan?"

Maura melebarkan matanya kaget. Tepat saat itu pintu kamar rawat itu terbuka dan sosok yang sedang Ardan sebutkan muncul di hadapan mereka. Ardan langsung berdiri dan menarik kasar tangan Amanda.

"Semua ini karena dia, kan? Jawab sayang!"

Maura menatap Amanda dan Ardan dengan tatapan datarnya.

"Kamu diam berarti benar karena dia!" Tukas Ardan.

Plak!

Mata Maura melebar kaget. Bagaimana tidak kaget jika kau baru saja melihat seorang pria yang berbadan tegap dan maskulin menampar seorang gadis?

"Ardan!" Alvaro dan seorang pria disana meneriaki Ardan.

"Aku sudah bilang Amanda! Jika dia tidak kembali padaku, kau akan aku hancurkan dengan tanganku sendiri!!!" Desis Ardan setengah menggeram.

Maura terkejut melihatnya. Ardano mencekik leher Amanda di depan matanya. Maura menoleh ke arah Arman dan Arsen. Arsen menghampiri Maura dan menepuk bahu Maura.

"Hentikan dia, atau dia akan benar-benar menghabisi Amanda," ujar Arsen.

"Hah?"

"Kak Ardan sudah bersumpah, jika kamu tidak kembali padanya dia akan menghancurkan Amanda dengan tangannya sendiri. Dan itu sedang dia lakukan saat ini,"

Maura terdiam. Matanya menatap ke arah Ardan yang sedang ditarik tangannya oleh Alvaro, Arman dan seorang pria lagi. Akan tetapi, tangan Ardan tetap bertengger di leher Amanda.

"Semua yang kamu lihat di butik saat itu hanya salah paham. Aku sudah bilang, kan? Amanda itu menderita cousinzone. Dia mencintai kak Ardan seperti mencintai seorang pria. Dan lagi Amanda baru seusia dengan Alesha,"

Maura terkejut saat mendengar usia Amanda. Mata Maura menatap ke arah Ardan. Dia mengingat Ardan memeluknya erat saat mereka berada di rumah Cavalier. Maura menoleh saat rasa sakit sedikit terasa di punggung tangannya. Dia menoleh dan melihat jarum infus sudah tercabut dari tangannya dan kini tangannya hanya tertempel sebuah plester. Arsen menyuruh Maura melalui gerakan kepalanya yang menunjuk Ardan.

"Ardan jangan!" Pekik wanita yang seumur dengan Alvaro saat tangan Ardan sudah terangkat untuk menampar Amanda lagi.

Grep!

Hening. Semua seakan berhenti. Tangan Ardan terhenti di udara. Ardan menoleh ke samping dan tidak mendapati Maura di atas ranjang pasien. Ardan menundukan kepalanya dan melihat tangan seseorang tengah memeluk pinggangnya. Di punggung tangan itu terdapat sebuah plester luka.

"Maura..."

"Hn."

Ardan meneguk ludahnya sendiri.

"Lepaskan dia Ardan, kita bicara baik-baik," ujar Maura dengan lembut

"Tidak. Dia penyebab semua masalah ini!"

"Kita bicarakan baik-baik Ardan. Lepaskan dia, okey?"

Dengan berat hati, Ardan melepaskan cekikannya di leher Amanda. Amanda langsung ditangkap oleh seseorang yang seumur dengan Alvaro. Ardan sendiri langsung berbalik hingga Maura melepaskan pelukannya dari pinggang Ardan.

"Jangan pergi lagi aku mohon!" Pinta Ardan setelah dia merengkuh tubuh mungil Maura.

"Jangan katakan kita selesai! Aku minta maaf, sayang. Maafkan aku. Jangan pergi!"

Maura mengusap punggung tegap Ardano dan menepuknya saat dia merasakan lehernya sedikit basah. Ardano memang menyembunyikan wajahnya di leher Maura.

"Aku... aku... Maura jangan tinggalkan aku...," Ardan berujar dengan isakan yang cukup keras.

Maura masih menepuk punggung Ardan. Dia mengusap tengkuk Ardan perlahan.

"Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Harusnya kita tidak kesana. Maafkan aku...," ujar Ardan lagi.

Maura jadi merasa bersalah pada Ardan dia tidak tahu kalau Ardan akan seperti ini hanya karena dia tinggalkan. Bahkan dia baru meninggalkan Ardan selama tiga hari. Maura juga merasa bersalah atas perbuatannya yang gegabah. Dia terlalu cemburu melihat Ardan dan juga terlalu mendengarkan ucapan para pegawai butik sampai tidak bertanya pada Ardan siapa Amanda.

Maura terus mengusapi punggungdan tengkuk Ardan. Pria itu terus menyembunyikan wajahnya di leher Maura dengan isakan yang masih belum berhenti. Jujur saja, Maura merasa tersanjunh. Dia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan membawa pengaruh besar dalam diri seorang Ardan. Padahal, menurut Maura, Ardan adalah pria sempurna yang tidak memiliki kelemahan.

"Maafkan aku...," lirih Ardan.

Maura menarik napasnya dalam.

"Maafkan aku Ardan," ujar Maura dengan lembut.

Maura merasakan Ardan menggeleng di lehernya. Maura kembali menepuk punggung Ardan perlahan.

"Aku salah. Aku pergi begitu saja, tanpa bertanya padamu. Aku bahkan membuatmu celaka. Aku benar-benar minta maaf," ujar Maura.

Tidak ada jawaban dari Ardan membuat Maura melanjutkan ucapannya.

"Ardan, aku ini bukan perempuan yang pantas untukmu. Bukan satu atau dua orang yang mengatakannya. Lagipula, sejak aku kecil aku selalu menbawa musibah bagi orang lain. Ibuku, ayahku, lalu kemarin, kamu juga terluka..."

Maura merasakan pelukan Ardan pada badannya semakin mengerat. Seolah meminta Maura tidak melanjutkan ucapannya.

"Bukan karena apa yang terjadi di butik. Aku ingin berpisah karena aku tidak mau lagi orang lain terkena musibah karena aku..."

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang