Pelan-Pelan Saja

20.1K 1K 33
                                    

Ardan sudah mengatakan semuanya pada Maura dan Maura sebagai istri hanya bisa mengikuti. Mungkin setelah Ardan lebih tenang, Maura akan meminta Ardan memikirkan ulang keputusannya.

Hari ini, Maura kembali diresmikan sebagai istri dari seorang Deo Ardano Kenneth Dimitra. Resepsi kecil-kecilan itu membuat Ardan menerima banyak cibiran karena dia mengadakannya saat Arman belum sadar dari tidur panjangnya. Sementara Alvaro mengumumkan klarifikasi tentang resepsi pernikahan mereka saat ini.

Meski masih banyak yang tidak percaya. Namun, beberapa dari mereka mengerti kalau apa yang menimpa Arman ada keadaan yang di luar kendali dan rencana pernikahan ini sudah diusung sejak sebelum Arman mengalami kecelakaan.

"Mara," Ardan memanggil istrinya.

"Hm?"

"Ayo pulang!" Ajak Ardan.

"Kita ke rumah sakit dulu ya,"

"Untuk apa?"

"Menjenguk kak Arman. Kamu bilang, kamu tidak mau datang lagi, kan? Jadi, ayo kita pamit padanya,"

Ardan mengangguk. Dia menukar pakaiannya dengan pakaian yang lebih casual, begitu pula Maura yang hanya memakai kaus biru muda dengan jeans biru. Mereka segera menuju ke rumah sakit untuk menjenguk Arman.

"Kak Natasha," Maura memanggil Natasha saat mereka sampai di ruang rawat Arman.

"Hey, selamat ya atas pernikahan kalian. Semoga kalian langgeng sampai tua,"

"Terima kasih,"

Ardan menatap adiknya dari sisi ranjang sang adik.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Ardan.

"Belum ada kemajuan apapun. Gio juga masih belum sadar,"

Ardan mengangguk kecil. Berdiam di ruangan itu selama lima belas menit. Ardan mendekati adiknya dan membisikan ucapan pamitnya di telinga Arman.

"Kakak minta maaf. Kakak tidak bisa menjagamu dengan baik. Sebagai gantinya, kakak tidak akan lagi membawamu dalam bahaya apapun. Arman, terima kasih sudah mau menjadi adik dari seorang pecundang sepertiku dan..." Ardan menahan kalimatnya saat tenggorokannya tercekat.

"...kamu harus semangat Arman. Semangat untuk kembali berdiri lagi seperti dulu. Kakak pamit. Kakak tidak akan lagi membawamu, Arsen dan Alesha atau siapapun dalam keluarga kita untuk berada dalam bahaya. Kamu tenang saja. Kalau masih ada waktu di kehidupan ini untuk kakak bertemu kalian lagi, kakak hanya akan mengucapkan terima kasih sudah menjadi adik yang baik untukku. Selamat tinggal Arman, kakak pamit,"

Ardan berdiri tegap kembali. Dia mengangguk pada Maura dan Maura mengerti. Gadis itu pamit pada Natasha. Ardan untuk terakhir kalinya menggenggam tangan adiknya dan menepuknya pelan untuk memberikan kekuatan pada Arman.

'Kakak pamit, Arman,' batin Ardan.

Tepat saat tangan Ardan beranjak dari posisinya seiring dengan langkah kaki Ardan, suara erangan kecil terdengar di ruangan itu. Tangan Ardan juga tergenggam walaupun tidak erat. Ardan menoleh dan melihat alis Arman berkerut.

"Nat, dokter..." ujar Ardan dan Natasha langsung menekan tombol darurat di sisi ranjang Arman.

Vale yang kebetulan sedang berjaga saat itu langsung memeriksa keadaan Arman. Ardan melepaskan tangan Arman saat Vale datang. Ardan memilih keluar. Dia mengajak Maura keluar dari ruangan yang cukup besar itu.

"Ardan,"

Ardan mengentikan langkah kakinya di ujung pintu saat sepupu dari ayahnya itu memanggilnya.

"Ardan, Arman memanggilmu,"

Satu kalimat yang berhasil membuat Ardan terkejut sampai dia meremas tangan Maura yang ada dalam genggamannya.

"Ardan! Dia memanggilmu!"

Teriakan Vale membuat Ardan kembali dan membuat Alvaro yang baru datang langsung masuk ke dalam ruangan itu bersama Arsen yang tadi sedang ke toilet.

"Ada apa ini?" Tanya Alvaro.

Kaki Ardan terhenti di tengah-tengah. Dia tidak berani mendekat ke arah Arman.

"Ardan! Dia memanggilmu! Cepat kemari! Cepatlah!"

Ardan melangkah dengan ragu. Bentakan dari Vale membuat Ardan mendekati adiknya. Benar. Ardan mendengar mulut Arman memanggilnya dengan lemah dan nyaris seperti bisikan. Ardan menggenggam tangan Arman.

"Bangun Arman. Kakak disini," ujar Ardan.

"K..a..k.."

"Iya Arman, kakak disini. Bangun Arman, Natasha dan semuanya menunggumu bangun,"

Tangan Ardan menggenggam erat tangan adiknya. Rintihan kesakitan terdengar dari bibir Arman. Vale memeriksa anak itu dan tak lama mata cokelat milik Arman terbuka. Mata itu bergerak tak tentu arah seolah dengan menelisik dimana dirinya dan saat mata cokelat itu menatap ke arah Ardan, Ardan hanya bisa menatap balik mata itu.

"Hey, brother," sapa Ardan.

"Kak..."

"Hm? Kenapa? Kamu haus?"

Arman memejamkan matanya kembali setelah melihat Ardan di sebelahnya.

"Sepertinya, orang yang menjaga Arman harus diganti," ujar Vale.

Ardan langsung menggeleng kecil. "Tante jangan bercanda! Natasha sudah menjaga Arman dengan sangat baik, papi dan Arsen serta Alesha juga. Dia tidak butuh aku ataupun Mara untuk menjaganya.

"Ayo pulang Mara!" Ajak Ardan dan saat dia hendak melangkah tangannya justru tertahan sesuatu.

Ardan baru sadar tangan Arman kini berbalik menggenggam tangannya. Ardan ingin melepaskannya tapi, tangan itu mencoba mengeratkan genggamannya. Sekalipun tidak berpengaruh banyak pada Ardan sebenarnya.

"Kak, Arman mau kamu menjaganya. Jagalah dia disini," ujar Alvaro.

Ardan menatap ayahnya dan juga Arsen yang kini menatap ke arahnya. Ardan kembali teringat ketika Alesha sadar sepenuhnya dua belas tahun lalu, Alesha mengusirnya. Dulu dia sudah pernah merasakan diusir oleh adiknya. Jika kali ini dia harus merasakannya lagi, jujur saja, Ardan tidak mau.

"Ardan pulang saja, pi. Papi bisa minta yang lain untuk menjaga Arman,"

Ardan melepaskan genggaman tangan Arman dan meletakan tangan itu di ranjang. Ardan mengajak Maura pergi dari sana. Maura pamit pada semua orang. Dia mengikuti langkah Ardan. Maura memeluk Ardan saat mereka memasuki lift yang lumayan sepi.

"Mara..." panggil Ardan dengan suara tercekat dan lirih.

Maura hanya bisa mengusapi punggung suaminya itu mencoba memberikan sedikit ketenangan pada Ardan.

"Mau kembali lagi?" Tawar Maura dan Ardan menggeleng.

"Kita pulang saja,"

Maura mengangguk. Dia tahu Ardan pasti belum siap untuk bersahabat dengan masa lalunya yang sedikit kelam. Jadi, Maura mengusap punggung Ardan.

"Pelan-pelan saja. Tidak apa. Perlahan saja,"

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang