Ketakutan Yang Menjadi Nyata

19.5K 971 13
                                    

Ardan duduk di ruang rawatnya. Hari ini pemeriksaan terakhirnya sebelum dia diizinkan pulang. Ardan sudah mulai bosan berada di rumah sakit selama dua bulan. Arsen masih sering berkeliling indonesia. Akan tetapi, Arsen selalu membawa anak buah Ardan yang memang sudah dia tetapkan saat Carrel pertama kali muncul di hadapannya.

"Baiklah, tuan Dimitra. Luka anda sudah mengering dan proses penyembuhannya sangat baik. Mohon jaga pola makan anda selama beberapa waktu ke depan,"

Ardan mengangguk paham. Dia membiarkan dokternya mengoleskan obat lagi pada lukanya. Ardan mengganti pakaiannya dan membiarkan suster mencabut jarum infus di tangannya.

Ardan melihat Maura muncul dari balik pintu kamar rawatnya. Gadis itu tersenyum dan menghampirinya.

"Sudah boleh pulang?"

Ardan mengangguk kecil. Dia membiarkan tas miliknya dibawa oleh anak buah keluarga Reinner.

"Papa sudah pulang?"

"Sudah. Baru kemarin papa pulang,"

Ardan mengangguk. Dia masuk ke dalam mobil dan saat mobil mereka sampai di mansion Reinner, Ardan mengerutkan keningnya heran.

"Grandpa memaksa papi tinggal disini,"

Ardan mengangguk lagi. Dia masuk bersama Maura dan melihat Arman di berdiri di dekat ayahnya. Ardan memilih menyapa Natasha dan sedikit berbincang dengan gadis itu. Ardan memilih pamit naik ke atas daripada berdebat lagi dengan adik kembarnya.

Biarlah. Ardan membiarkan apapun yang adiknya lakukan. Asal dia bisa menjaga adiknya itu sudah cukup. Meski adik-adiknya akan membenci dirinya nanti. Meski mereka juga akan mengatakan Ardan hanya melindungi dirinya sendiri dari rasa takut, Ardan tidak peduli.

"Ini kamarmu, kalau ada perlu apa-apa hubungi saja aku," ujar Maura setelah dia mengantar Ardan sampai ke pintu kamar tamu.

Ardan hanya tersenyum, dia masuk ke dalam kamar itu dan berbaring di ranjang. Otaknya memikirkan segala cara menghabisi Carrel. Jika Celia tidak bisa membantunya, maka biarlah Celia membencinya seumur hidup. Ardan akan melenyapkan Carrel jika pria itu berani menyentuh keluarga dan orang yang dia sayangi.

Ardan mengerutkan keningnya saat melihat panggilan masuk dari nomor yang tidak dia ketahui. Ardan mengangkat panggilan itu dan cukup terkejut dengan suara di ujung panggilan itu.

"Ada apa Celia?"

"Carrel menyusulmu kesana. Ke Sydney. Hati-hatilah. Aku sudha mencoba mengatakan padanya berkali-kali kalau kejadian beberapa tahun lalu bukan salahmu tapi, dia tidak mau mengerti,"

"Kalau aku melakukan sesuatu padan Carrel, kau akan membenciku?"

"Kalau dia memang tidak bisa diberitahu aku bisa bilang apa. Aku tahu bagaimana hukum yang kalian terapkan dalam diri kalian berdua. Hukum rimba. Jadi, aku bisa berbuat apa kalau kalian sudah berprinsip sama?"

"Hn. Baiklah,"

Ardan memutus panggilan itu. Dia mengganti pakaiannya dan memilih keluar dari kamar itu. Dia berjalan dengan santai menuju ke jalan besar dan menaiki taksi dari sana. Ardan meminta supir taksi itu mengantarnya ke sebuah cafe di kota.

"Sudah lama?" Tanya Ardan pada pria yang kini duduk membelakangi pintu cafe sambil menepuk pelan bahu pria itu.

Pria itu menggeleng. Ardan duduk di depannya. Ardan mengeluarkan amplop berwarna cokelat.

"2000 dollar. Bersihkan dia tanpa jejak sedikit pun. Kalau pekerjaanmu selesai aku akan memberikan sisanya padamu,"

Pria itu mengambil amplop itu dan memasukkannya ke dalam jaketnya.

[DS #1] His PossessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang