V. Pandora I

17.1K 2.5K 244
                                    

Kim Taeri mengetuk-ngetukan jarinya ke meja. Menatap ke luar jendela. Daun yang menguning jatuh berguguran melepaskan diri dari rerantingan yang mulai mengering. Hawa lembab, langit biru dan awan-awan yang sedang bergosip tentang perubahan cuaca. Namun pandangannya kosong, alih-alih terpatri pada bunyi detak jarum jam dan musik yang mengalun. Kepalanya mulai berkutat pada potongan kenangan-kenangan yang memaksa untuk diingat.

Tentang dirinya dan pria yang bertemu beberapa saat lalu di depan kafe. Semuanya begitu acak dalam kepala seperti proyektor film dengan penggalan tiap titik klimaks yang terpatri dalam ingatan. Manis namun teramat kacau. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi karna mereka sama-sama tahu kalau pada akhirnya tidak akan bertahan lama.

Setahun yang lalu dia dan Park Haejin diam-diam berkencan. Enam bulan menjalani hubungan, bukan hal yang mudah. Namun juga tak terlalu sulit untuk Taeri dan Haejin. Dua orang yang bertemu di dalam dunia pekerjaan dan jatuh cinta-begitu picisan. Bisa dibilang Park Haejin adalah cinta pertamanya. Pria dewasa yang Taeri yakini setara dengan dirinya. Pun begitu sebaliknya. Bagi Haejin, Taeri adalah wanita tepat mengingat dia begitu mandiri sekalipun mereka sudah berkencan tidak ada hal manja yang kerap merepotkan. Taeri memiliki prinsip kuat bagaimana dia dapat berdiri di atas kakinya sendiri. Menjunjung tinggi derajat dan kemampuan wanita yang kerap membuat Haejin kagum. Tipe ideal di mata masing-masing.

Kadang hal yang menjadi alasan mereka bersama juga kerap menjadi penyebab kerenggangan. Pertikaian kana rasa ambisius satu-sama lain itu hal biasa, karna pada akhirnya akan saling memaklumi. Bergantian merapal kata maaf, atau bahkan tak mengucapkannya, namun muncul tiba-tiba di depan salah satunya sambil mengatakan betapa rindu ketika saling mengabaikan satu-sama lain. Namun ketika semua mengalir begitu tenang, akan ada saatnya bertanya-tanya pada diri sendiri, apa hubungan seperti itu yang diinginkan. Sampai pada saatnya rasa bosan menghampiri. Menghasut, membisikan segala keraguan. Membuat sebuah jarak tak terlihat antara pikiran dan hati. Sampai pada akhir di mana lelah menguasai segalanya.

Haejin merasa hambar dengan hubungan mereka. Taeri lelah memaklumi semua kesibukan Haejin yang bahkan pernah malah menyalahkan dirinya. Nyatanya berkencan dengan aktor bukan hal mudah. Taeri menyerah pada hubungan mereka dengan air mata yang berusaha dia tahan kala itu.

Sialnya setelah susah payah dia berusaha melupakan Haejin, mereka harus bertemu lagi di tempat yang tak terduga. Semua hal di dalam hidup yang berusaha dilupakan seakan berkumpul jadi satu meminta diselesaikan ataupun kembali diingat.

"Noona! Noona!"

Suara itu membuat Taeri tercekat ditambah lagi didepannya sudah ada sosok Jungkook memakai jaket berwarna kuning dengan rambut sedikit teracak akibat angina. Matanya membulat menatap Taeri dengan bingung. Ujung hidungnya memerah kedinginan atau mungkin kelelahan mengingat dia baru saja menyelesaikan jadwalnya dan langsung datang menemui Taeri.

"J-jungkook? Sejak kapan kau-" Taeri tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena merasa amlu sendiri melamun.

Jungkook terkekeh mendapati hal tersebut menggemaskan. "Daritadi aku di sini memperhatikan wajah noona yang melamun. Cantik sekali," jelas Jungkook sambil tersenyum lebar dengan mata hampir tidak terlihat. Kerutan di ujung pipi sebagai pemanis. Kedua tangan menangkup pipinya sendiri.

"Apa yang kau bicarakan sih!" Taeri menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tahu kok aku cantik. Biasa saja. Masih banyak wanita yang menjadi teman seprofesimu lebih dari sekadar cantik."

"Aku tahu, tapi cantik itu relatif. Kau itu di mataku-berbeda. Biasanya sih seseorang terlihat begitu cantik atau tampan di mata orang yang menyukainya."

Kening Taeri berkerut sambil memincingkan mata menatap Jungkook. "Kau baru saja merayuku?"

Jungkook mengedikan bahu santai dengan wajah jahil. "Boleh saja kalau noona menganggap begitu."

Bola mata Taeri berputar sebelum akhirnya menggelengkan kepala. Jungkook yang sekarang memang sudah lebih berani dan kejahilannya naik beberapa level di atas-dalam tanda kutip.

"Ayo kita pergi dari sini," ujar Taeri bangkit dari kursinya. Cukup membuat Jungkook bingung dan penasaran secara bersamaan. Matanya membulat mengisyaratkan pertanyaan. "Kau tidak mau menemaniku?"

"Kemana?" Tanya Jungkook sambil bangkit dari kursinya.

"Kalau berkencan?" goda Taeri.

Giliran Jungkook yang terdiam seketika. "K-kau serius?"

"Tentu tidak. Ayo sudah ikut saja. Aku rasa aku butuh seseorang untuk menemaniku. "jelas Taeri sambil mengusak rambut Jungkook dengan gemas.

"Noona sudah kubilang hentikan, aku sudah besar. Bukan Kim Jungkook yang bocah seperti dulu." Wajah Jungkook memerah tapi sebenarnya merunduk agar Taeri lebih mudah menjangkau pucuk kepalanya. Tersenyum simpul karena sejujurnya, dia menyukainya. Teramat.

===

"Kau tahu kalau aku menulis naskah drama untuk proyek terbarumu?" Tanya Taeri mengawali percakapan setelah beberapa saat hening berjalan bersampingan menyusuri jalanan kota Seoul.

"AH ITU DIA!" seru Jungkook tiba-tiba membuat Taeri sampai terkejut sendiri namun berakhir tertawa karena aneh melihat Jungkook kelewat girang.

"Noona kenapa tidak mengatakannya padaku? Apa ini ada hubungannya dengan kembalinya noona ke sini?" tanya Jungkook penasaran.

Taeri bungkam seketika. Bibirnya mengatup sukses memilah kalimat apa yang harus dia lontarkan untuk pertanyaan itu. Karena sejujurnya alas an dia kembali adalah sebuah surat yang dia terima. Tapi dia rasa tak perlu mengatakan perihal surat tersebut. "Tentu bukan."

"Lalu?" Kim Jungkook dan rasa penasarannya.

"Kau bilang sudah dewasa kan? Kenapa sekarang terlihat seperti anak kecil yang penuh rasa ignin tahu dan penasaran?" ejek Taeri mengambil alternative lain.

Jungkook mendengus. "Baiklah. Baik! Apapun itu, aku senang sekali noona kembali."

"Iya tahu."

"Apalagi kita ada satu proyek bersama."

"Iya, aku juga senang."

"Iya, jadi kita bisa menghabiskan waktu bersama terus."

"Apa?"

"Apanya?"

"Yang kau katakan."

"Menghabiskan waktu bersama."

"Iya, aku dengar itu."

"Lalu apa lagi yang 'apa'?"

Taeri menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti."

Jungkook kembali terkekeh. "Bukan tidak mengerti, tapi belum mau mengerti, mungkin? Noona itu pintar. Pasti mengerti maksudku. Tidak perlu akan melakukan sesuatu untuk membuat mengertikan?" Tanya Jungkook dengan senyuman licik yang sumpah membuat Taeri salah tingkah sendiri. Benar-benar mengacak tempo degupnya. Ia lebih memilih tak menjawab dan mempercepat langkahnya.

"Yak! Noona! Tunggu aku!" seru Jungkook ketika menyadari Taeri sudah mendahuluinya.

Jarak yang mereka tempuh tidak terlalu jauh namun juga tidak dekat. Cukup membuat lelah tapi tak masalah jika berjalan bersama Taeri. Mungkin juga sebaliknya? Wanita yang memakai blouse putih dengan aksen pita hitam manis itu berjalan menyusuri jalan sempit yang menurut Jungkook tak asing. Ketika langkah Taeri berhenti, dia mengerti maksud Taeri ketika gadis itu mengatakan bahwa butuh ditemani.

Sementara Taeri berdiri kaku dengan tangan mengepal gemetar. Pilu di dada kembali dirasakan. Sejujurnya lututnya terasa lemas tapi untuk bergerak saja sulit. Napasnya terasa begitu sesak seperti ingin meledakan tangis tapi satu-satunya yang ada adalah kehampaan. Alasan dia meninggalkan kota Seoul.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Jungkook seraya menyentuh lembut bahu Taeri yang terlihat tidak baik-baik saja.

Bibir Taeri bergetar dan mengangguk. Kalau tidak saat ini, dia tidak akan selalu melarikan diri dari masa lalu dengan rasa takut yang menghantui. Maka ia menganggung pelan. "Ya. Bisa temani aku masuk?" Tanya Taeri lirih. Jungkook terlihat terkejut dan mengangguk. Maka mereka berdua memasuki rumah di mana dulu Taeri tinggal.

Rumah dengan segala kenangan kelam di mana Taeri berusaha melupakannya. Masa lalu yang membuatnya mati berkali-kali ketika memaksa untuk diingat.

[]

LIMERENCE ✓जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें