>> Part 3

413 81 57
                                    

Tidak ada yang pantas melakukan justifikasi tentang salah dan benarnya sesuatu. Karenanya, manusia memilih membuat kebenaran itu sendiri dan terkadang, memaksakan pemikirannya pada orang lain.

Namun, ketahuilah. Apa yang kamu sebut 'benar', tidak akan selalu benar di mata orang lain.

***

'Maukah kamu bergabung dengan kelompok Freedom?'

Itulah pesan yang dikirimkan sebuah akun tidak dikenal kepada semua murid di gedung itu. Vania terdiam, menutup mulutnya rapat-rapat. Keringat dingin memenuhi dahi dan lehernya. Dia menoleh ke sekitar dan melihat para murid kelihatan terkejut bercampur bingung.

Hanya dalam waktu kurang dari satu jam, mereka melakukan konversasi dengan orang yang memiliki tingkatan yang benar-benar berbeda, dan berani mengambil risiko. Dalam kurang dari satu jam, mereka diombang-ambing untuk memilih menuruti hati atau akal. Dalam kurang dari satu jam, mereka menyadari, setiap materi yang masuk di kepalanya sama sekali tidak berguna, ketika kejadian tak terduga seperti ini terjadi pada mereka.

Saat ini, mereka pasti bingung, harus mengikuti hati atau tunduk pada rasa takutnya pada konsekuensi yang akan mereka dapatkan. Namun, di sisi lain, perasaan terdesak yang datang membuat pikiran mereka tanpa sadar memberi dorongan, 'Cepat bergabung! Kesempatanmu untuk lepas dari jeratan menyakitkan ini tidak akan datang dua kali!'

Kedua sisi yang saling bertentangan ini membuat tidak ada yang berbicara untuk beberapa menit setelahnya. Mereka sedang bertarung, dengan pikirannya masing-masing. Begitu pun Vania. Matanya tertuju pada sebuah tautan yang tertera di sana dan mendapati, itu adalah link untuk dapat masuk ke dalam sebuah grup dari aplikasi itu.

Apa mungkin, Freedom ingin mengumpulkan orang-orangnya dalam grup yang sama, karena pertemuan langsung tidak memungkinkan? Sekarang … Vania harus bagaimana?

“Setelah ini, kami merencanakan sesuatu yang lebih besar dari yang terjadi hari ini. Dengan mengerahkan seluruh massa yang bisa kami rangkul, aku yakin kami akan mengubah pendidikan ini. Aku yakin, akan ada yang berubah. Meski itu berarti, kami harus menggunakan paksaan."

Suara dari pengeras suara itu terdengar datar, penuh keseriusan. Namun, setiap katanya berhasil mengendap dalam pikiran dan mengusik akal Vania berkali-kali. Semakin dipikirkan, semakin dia menyadari; ada yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia dan kesalahan itu harus segera diluruskan.

Vania kembali melihat ke arah ponselnya. Dia sekarang mengakui, kakeknya maupun Freedom benar. Mereka benar, ya, begitu. Namun, jujur saja, meski ia sudah mulai beralih pihak membela Freedom sekarang, ia masih sama seperti murid-murid itu. Dia bingung. Ia tidak ingin mengambil jalan melalui perasaan, karena dia tahu, risikonya terlalu besar.

Vania masih belum tahu, apa yang akan pihak sekolah lakukan pada murid-muridnya yang bergabung dengan kelompok yang menentang mereka. Dia tidak ingin berjuang dengan risiko tidak bisa kembali ke jalur awal. Dan lagi, bagaimana kalau rencana Freedom gagal dan pihak sekolah akan mengeluarkan mereka karena bergabung dengan pihak yang melawan otoritas negara?

Vania mengatur napas. Dadanya terasa sesak. Tangannya yang memegang ponsel bergetar hebat. Pergolakan batin itu terus berlanjut, seperti tanpa akhir di dalam kepalanya.

“Ah ya, pasti akan sulit untuk kalian jika memilih sekarang. Maka dari itu, kami akan memberikan waktu untuk berpikir baik-baik. Namun, segeralah putuskan. Karena, semuanya mungkin akan terjadi sebelum kalian berhasil menghitung sampai angka sepuluh.”

Terdengar suara tawa yang datar, meremehkan. Lalu, suara destruksi dari mikrofon kembali muncul sebelum Si Bodoh melanjutkan, “Dan satu hal lagi yang perlu kalian tahu. Identitas kalian tidak akan ketahuan di dunia nyata. Guru-guru atau bahkan teman kalian tidak akan tahu. Kecuali, kalian mengatakannya sendiri.

SAY NO! Where stories live. Discover now