>> Part 3 (a)

222 38 15
                                    

Jika saja—hanya jika;

mereka bisa melonggarkan sistem pendidikan dan membuat perubahan lain agar seluruh rakyat tidak lagi terpaksa hidup dengan membuang kemanusiaannya seperti sekarang; membangun kembali asas Pancasila yang terabaikan dan membuat negara bersatu, seperti yang sering dikumandangkan seratus tahun lalu,

maka itu berarti kemerdekaan telak untuk seluruh rakyat Indonesia.

:::

"Sudah merasa baikan?"

Pemuda itu berdiri, tangannya bergerak untuk membantu gadis yang sebelumnya membuka mata perlahan hingga ia terduduk dengan bantal sebagai sandaran. Setelahnya, ia mendapat tatapan bingung dari gadis itu. Matanya menyipit, tiga kerutan tercetak di dahinya tatkala memandang Arga beberapa saat. Di detik berikutnya, barulah dia mengembuskan napas pendek dan bergumam, "Jadi kamu ke sini lagi."

Arga tidak membalas. Ruangan rumah sakit itu dikelilingi keheningan beberapa saat ketika keduanya memilih menutup mulut rapat. Saat itu, sudah hampir pukul enam sore. Mungkin hanya kurang paling lama sepuluh menit lagi hingga lampu-lampu neon sepanjang jalan kota akan menyala secara otomatis. Mengubah energi panas yang didapatnya pada siang hari menjadi cahaya yang menerangi seluruh jalanan kota.

Vania menoleh ke arah jendela di sisi kiri. Rambut sepundaknya yang sedikit berantakan sehabis bangun tidur terhempas angin sepoi dari sana. Menghamburkan helainya sedikit, sebelum akhirnya tangan yang tidak berbalut infus itu terangkat untuk merapikannya ke belakang telinga.

Arga ikut memandang ke arah sana. Di luar jendela, terlihat penampakan gedung-gedung tinggi seakan menembus cakrawala. Suara hiruk pikuk kendaraan dan lalu lintas di bawah samar terdengar. Dan, matahari yang hanya tinggal setengahnya mencuat sedikit dari permukaan. Memberikan semburat oranye di langit biru bersih tanpa awan.

"Aku tidak apa-apa, dan telah mendapatkan banyak perawatan. Beberapa hari lagi aku pasti bisa keluar dari sini." Akhirnya Vania menjawab pertanyaan Arga. Suaranya terdengar serak, bergema pelan dan sedikit bergetar karena tenggorokannya yang kering. Ia lalu menoleh ke arah pemuda itu lagi, "Aku sudah membaik. Jadi kamu tidak perlu ke sini lagi hanya karena merasa bersalah. Dari awal malahan, aku tidak tahu mengapa kamu harus merasa bertanggungjawab terhadap keadaanku."

Arga masih betah menutup mulutnya rapat. Ia menghindari tatapan Vania dan menunduk beberapa saat. Setelahnya, dia berdiri dan beranjak dari tempatnya menuju pintu keluar, "Karena kamu baik-baik saja, aku akan pergi sekarang."

"Kamu masih melanjutkan keinginanmu menghentikan kelompok Freedom?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Arga menghentikan langkah, mematung di tempatnya. Karena gadis itu hanya berdiam di rumah sakit setelah kejadian itu, dia sama sekali tidak tahu Arga telah menghubungi Arsen kemarin dan bahkan memutuskan masuk Freedom setelah bertemu dengannya siang tadi. Dan menurutnya, gadis itu memang tidak perlu tahu.

Arga masih membelakangi Vania. Keheningan kembali menguasai mereka. Suara denting jam yang menunjukkan sudah pukul enam tepat berdentang dan mengisi sepi. Gadis itu akhirnya berkata lagi karena tidak mendapat balasan, "Atau malah, kamu telah menyadari bahwa sebenarnya Freedom benar, dan bergabung dengan mereka?"

Rahangnya mengeras bersamaan dengan wajahnya yang terasa kaku. Setelah berhasil menguasai diri agar kelihatan normal, akhirnya dia berbalik dan memandang wajah Vania. Gadis itu sedang memandangnya dengan serius, kedua tangan yang berada di atas selimut terkepal erat. Arga kembali berbalik dan melanjutkan langkah saat mengatakan, "Aku masih belum menentukannya."

SAY NO! Where stories live. Discover now