>> Part 3 (b)

225 37 72
                                    

Yang tahan untuk tetap memalingkan wajah, setelah mengetahui penderitaan para pelajar secara langsung karena bobroknya sistem pendidikan saat ini, hanyalah mereka yang tidak mencintai Indonesia.

Karena pelajar adalah bagian penting untuk kelangsungan hidup bangsa.

:::

Entah bagimana Arga masih bisa mempertahankan kesadarannya bahkan setelah banyaknya informasi yang dijejal dalam kepalanya hari ini, dan mengikuti langkah Arsen.

Keramik segera menutup lagi di atas mereka saat keduanya telah menuruni tangga menuju bawah. Lampu menyala saat Arsen menginjak tangga ketujuh, lalu lampu kecil sepanjang langit-langit memendarkan cahaya—menerangi langkah mereka. Tangga itu ternyata cukup panjang, dan sayangnya, Arga tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terlihat di dasar tangga itu.

Arsen melanjutkan percakapan tadi, “Meskipun terlihat seperti bocah bagimu, kepandain Natalia dalam masalah software mendekati kemampuanku. Dia adalah anggota penting Freedom yang akan ditugaskan menggantikanku, jika aku harus mengurus hal lain.”

Hal itu tidak membuat Arga memaklumi kelakuan gadis tadi. Hanya saja, dia juga berusaha untuk tidak terlalu peduli dan memilih diam. Membiarkan matanya fokus pada cahaya yang lebih terang di ujung tangga.

Terdengar suara kerikil menggelinding, menggema di dalam ruangan tertutup ini dengan suara lebih besar dari yang dapat ia duga, seperti berada dalam gua saja. Arga menurunkan pandangan dan mendapati tangga tersebut terbuat dari marmer dan bebatuan. Dipenuhi rongga, tapi kelihatan dibuat dengan baik. Ia tidak yakin, pemerintah sendiri yang membuatkan tempat tersembunyi ini. Namun, ia juga tidak punya ide bagaimana orang-orang ini dapat membuatnya sendiri.

Mulutnya ternganga saat akhirnya mereka sampai di dasar tangga. Kakinya mematung setelah maju satu langkah, kepalanya terdongak tinggi menuju langit-langit ruang bawah tanah itu. Arga … seperti berada di dalam aquarium raksasa.

Matanya berkilat penuh ketidakpercayaan tatkala menangkap pemandangan air berwarna biru gelap adalah satu-satunya hal yang mengelilinginya saat ini—di luar kaca tebal transparan yang menjadi dinding ruangan tersebut. Karena hari sudah mendekati malam dan hanya mendapat cahaya dari lampu jalanan, semuanya tidak terlalu jelas. Namun, Arga yakin, kalau saja dia ke sini pada siang hari—pemandangan di bawah sungai panjang Martapura ini akan terlihat luar biasa.

“Oh, kamu pasti terkejut karena baru pertama kali ke sini.” Arsen berjalan menuju sofa yang berada di tengah ruangan, terlihat sangat santai dan mendudukan dirinya di sana. Ada meja-meja dan banyak hal di ujung ruangan, tapi Arga masih belum bisa melepas pandangan pada pemandangan di luar dinding kaca tebal itu.

Arga tentu beberapa kali pernah ke tempat seperti ini saat kecil; sekolah memberikan pengenalan terhadap biota laut menggunakan aqurium besar sebagai medianya. Namun, sekarang tentu berbeda. Ia tidak datang untuk belajar, dan ternyata hal itu benar-benar membuat matanya terbuka terhadap sesuatu yang disebut indah.

“Kamu ingat kan, kalau bangunan PKPB ada di samping pelabuhan Sungai Martapura? Kita sedang berada di dasar sungai itu, sekarang.”

Rasanya, jantung Arga terpompa sangat cepat sekarang. Bagian atas tempat ini, di samping kompleks pelajar ini, telah dijadikan sebagai pelabuhan dan transportasi umum jalan perairan yang dilewati kapal-kapal ukuran kecil hingga menengah. Dan Arga yakin, ruangan bawah tanah—atau lebih tepat ia sebut ruangan bawah sungai—ini sama sekali tidak masuk dalam daftar bangunan yang pemerintah buat.

SAY NO! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang