>> Part 1

722 118 79
                                    

Ketika moralitas dikalahkan entitas nilai di atas kertas, saat itulah kehancuran sebenarnya dari sebuah sistem pendidikan.

***

Dua setengah dekade dulu, Indonesia dikejutkan dengan nilai rupiah yang menurun drastis. Pasar Bebas ASEAN yang digadang-gadang akan membuat pemasukan anggaran Indonesia semakin besar, hanya bisa menjadi angan-angan. Produk asing yang memiliki kualitas jauh dibanding buatan dalam negeri, dan sumber daya manusia dari luar yang lebih andal, membuat rakyat Indonesia tidak bisa bersaing dengan negara lain.

Isu kemiskinan ini menambah daftar panjang masalah di Indonesia selain konflik dalam negeri yang sebenarnya telah sangat ramai terjadi. Dengan cepat, Indonesia masuk ke dalam jajaran negara termiskin di dunia, setelah tidak berhasil menanggung pengeluaran negara pertahun yang mencapai puluhan triliun.

Konflik semakin ramai terjadi di mana-mana. Kriminalitas menjadi sesuatu yang tidak asing, dan kematian hanyalah isu yang tidak lebih penting dari iklan pasta gigi. Perpecahan hanya karena perbedaan ras dan agama adalah sesuatu yang menjadi makanan sehari-hari. Semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' di kaki burung garuda segera bersembunyi karena malu. Toleransi telah hilang sepenuhnya di negeri ini.

Demo rakyat terjadi setiap hari. Mereka menyalahkan pemerintah atas semua kekacauan. Melupakan fakta mereka juga ikut andil dalam menghancurkan negeri sendiri. Yang penting, marah mereka terlampiaskan. Poster-poster besar berdiri tegak di depan kantor pemerintah kota maupun daerah. Bentuk protes tertulis dengan tulisan penuh amarah tapi juga takut. Karena, mereka takut akan mati di negeri tidak berarti.

Indonesia telah sepenuhnya hancur, meski tidak ada rudal dan bom yang menghancurkan permukaan wilayah secara fisik.

Ada begitu banyak kekacauan lainnya yang sebenarnya menjadi sejarah memalukan bagi Indonesia. Karena, itu berarti Indonesia mengalami krisis kehancuran lagi, entah untuk kesekian kalinya.

Semuanya baru berubah setelah pemerintah mengambil tindakan tegas untuk membuat sebuah kelompok bernama Denjaka, dan mengubah struktur pemerintahan seluruhnya berdasarkan ide kelompok tersebut.

Dan sekarang, setelah pemerintah berhasil membawa kesadaran betapa buruknya hal-hal yang terjadi di Indonesia, membimbing dan membuat rakyatnya kembali ke jalan yang benar, keadaan Indonesia segera pulih. Dengan membuat sistem pendidikan yang lebih ketat dan terorganisir untuk para penerus bangsa, pemerintah juga memperbaiki pelayanan kesehatan untuk rakyatnya.

Singkatnya, dalam dua puluh tahun, negara Indonesia telah berhasil bangkit seluruhnya dari ambang kehancuran dan membayar lunas hutang dengan negara lain.

Semua fakta itu, telah Vania pelajari dari ia bersekolah dasar. Dari kecil, setiap anak didoktrin untuk memiliki sifat kompetitif dalam hal kepintaran, dan menghancurkan sifat konsumtif dalam diri. Semua pikiran dikotaki dan dalam satu tujuan; terus maju untuk menjadikan Indonesia lebih baik, dan tidak membiarkan kasus yang sama terjadi dua kali.

Karena, semua orang setuju, hanya ada satu hal yang bisa dilakukan agar hal itu tidak terjadi; tidak membiarkan anak remaja yang menjadi penerus bangsa tumbuh lemah hingga kalah dari remaja negara lain. Caranya, dengan mencetak anak bangsa yang memiliki kemampuan yang mumpuni dan berintelektual. Mencetak anak-anak yang baik, tanpa kerusuhan dan kenakalan tidak masuk akal yang terjadi, seperti dulu.

Setiap anak dari umur enam atau tujuh tahun akan dimasukkan ke sekolah-sekolah yang memiliki kepentingan berbeda. Dari kecil, orang tua mereka akan memilih beberapa hal yang ingin mereka kembangkan untuk anak mereka yang meliputi kepentingan ilmu pengetahuan, pengembangan teknologi dan kesehatan, atau pembangunan konstruksi untuk membuat Indonesia yang lebih baik.

SAY NO! Where stories live. Discover now