MARK C - push the president into a corner

153 27 25
                                    

::::

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

::::

Manusia akan melemah jika hanya menghadapi kebaikan, akan menjadi lalai jika hanya dibiarkan; karenanya diperlukan sebuah kekuatan yang dapat membuat mereka terus sadar.

Jika tidak, mungkin keterpurukan yang dialami Indonesia dua dekade lalu akan terulang.

Lagi dan lagi.

***

"Sebenarnya apa tujuan kalian?"

Pertanyaan yang Arga tanyakan kemarin menggema di dalam kepala Indira. Kenapa memilih mendirikan Freedom? Kenapa memilih memberontak?

Padahal ia adalah sebagian dari orang beruntung yang telah diberkahi bakat dan kecerdasan yang membuatnya tidak perlu merasakan neraka yang dirasakan siswa lainnya. Padahal ia tidak pernah merasakan hidup dengan harga diri terinjak, melainkan hidup mewah di bawah naungan keluarga kaya tanpa pernah merasakan yang namanya kelaparan.

Lalu ... kenapa?

Suara piring yang bergesekan satu sama lain membawa gadis itu kembali ke masa sekarang. Di saat ia menengadah, pemuda bertubuh jauh lebih tinggi darinya itu sedang meletakkan piring ke raknya, beserta alat makan lain yang tadi habis dipakai saat menyediakan makanan ringan dan minuman untuk anggota inti Freedom selama rapat.

Keheningan masih menguasai mereka sampai akhirnya pemuda itu, Arsen, selesai menyusun semuanya dan mengelap tangan basahnya dengan sapu tangan yang tergantung di dekat wastafel. Mata mereka bertemu sebentar, netra kecokelatan itu kelihatan ragu dan segera kabur dari tatapan Indira. Pemuda itu berdeham canggung sebelum akhirnya berkata, "Sekarang aku sudah boleh bicara, kan?"

Arsen menarik tangan Indira pelan lalu mengelap bekas basahnya di sana. Sepertinya gadis itu terlalu lelap dalam pikirannya sampai lupa untuk mengeringkannya tadi. Ia membalas lambat, "Aku tidak pernah melarangmu bicara, Arsen."

Kembali terjadi keheningan selama tangan Arsen mengelap tangan Indira pelan. Keheningan yang mungkin akan terasa janggal bagi orang lain untuk dimiliki pemuda itu. Indira pun memilih tidak memasang senyum manis seperti biasa. Seperti sebuah perjanjian tak tertulis-paling tidak di saat mereka hanya berdua-tidak perlu ada topeng yang mereka pasang.

Lagipula, mereka telah mengetahui 'wajah sebenarnya' milik masing-masing.

Sebuah helaan napas keluar bersamaan tangan yang mengembalikan sapu tangan kering itu ke tempatnya. Mengekori pemuda itu menuju sofa lagi, Indira sebenarnya kurang lebih tahu apa yang ingin Arsen bicarakan. Rapat telah selesai, setiap anggota inti telah kembali untuk melakukan koordinasi di divisi masing-masing. Namun, pemuda di dekatnya ini telah menerima tugas sepihak bahkan tanpa mereka diskusikan sebelumnya.

SAY NO! Where stories live. Discover now